Kepemimpinan Berfikir Dalam Islam

By abdullahalfaqir

Ikatan kebangsaan (Nasionalisme) tumbuh di tengah-tengah masyarakat, tatkala pola berfikir manusia mulai merosot. Ikatan ini terjadi ketika manusia mulai hidup bersama dalam suatu wilayah tertentu dan tidak beranjak dari situ. Saat itu, naluri ingin mempertahankan diri sangat berperan dan mendorong mereka untuk mempertahankan negerinya, tempat dimana mereka hidup dan menggantungkan diri.

Dari sinilah cikal bakal tumbuhnya ikatan nasionalisme, yang tergolong ikatan yang paling lemah dan rendah nilainya. Ikatan ini tampak juga dalam dunia binatang serta burung-burung, dan senantiasa emosional sifatnya. Ikatan semacam ini muncul ketika ada ancaman pihak asing yang hendak menyerang atau menaklukkan suatu negeri. Tetapi bila suasananya aman dari serangan musuh atau musuh tersebut dapat dilawan dan diusir dari negeri itu, sirnalah kekuatan ini. Oleh karena itu ikatan ini rendah nilainya.

Adapun ikatan kesukuan (sukuisme) tumbuh di tengah-tengah masyarakat pada saat pemikiran manusia mulai sempit. Ikatan ini mirip dengan ikatan kekeluargaan, hanya sedikit lebih luas. Sebab munculnya ikatan kesukuan ini adalah karena manusia pada dasarnya memiliki naluri ingin mempertahankan diri, yang kemudian dalam dirinya mencuat keinginan untuk berkuasa. Keinginan itu muncul hanya pada individu yang rendah taraf berfikirnya. Apabila kesadarannya meningkat dan pemikirannya berkembang, maka bertambah luaslah wilayah kekuasaannya, sehingga timbul keinginan keluarga dan familinya berkuasa. Keinginan tersebut terus melebar sesuai dengan perkembangan pemikirannya, sampai suatu saat timbul keinginan sukunya berkuasa di negeri tersebut. Apabila mereka telah mendapatkan kekuasaan itu, iapun ingin sukunya menguasai bangsa-bangsa yang lain.

Inilah sebab timbulnya berbagai pertentangan lokal antar individu dalam sebuah keluarga yang saling berebut pengaruh. Sehingga apabila seseorang telah berhasil menjadi pemimpin dalam keluarga itu –tentunya setelah lebih dahulu memenangkan persaingan dengan anggota keluarga yang lain– perselisihan pun beralih antara keluarga itu dengan keluarga-keluarga lain, yang masing-masing berusaha menundukkan yang lainnya dalam soal kepemimpinan, sampai akhirnya dimenangkan oleh satu keluarga tertentu atau dicapai oleh beberapa keluarga yang bergabung menjadi satu. Tetapi tidak lama kemudian timbul lagi perselisihan baru antara kelompok keluarga itu menghadapi kelompok keluarga yang lain, dalam soal kharisma dan kepemimpinan. Keadaan seperti ini menimbulkan rasa fanatisme golongan (ta’ashub) dalam diri anggota ikatan ini. Mereka dikuasai oleh hawa nafsu dalam usahanya membela anggotanya terhadap anggota suku yang lain. Dengan demikian, ikatan semacam ini tidak sesuai dengan martabat manusia. Ikatan ini senantiasa menimbulkan berbagai pertentangan intern, kalau tidak disibukkan dengan berbagai perselisihan dengan pihak luar (keluarga, suku, bangsa, dan lain-lain).

Berdasarkan hal ini, ikatan nasionalisme merupakan ikatan yang rusak (tabi’atnya buruk) karena tiga hal:

(1) Karena mutu ikatannya rendah, sehingga tidak mampu mengikat antara manusia satu dengan yang lainnya untuk menuju kebangkitan dan kemajuan.

(2) Karena ikatannya bersifat emosional, yang selalu didasarkan pada perasaan yang muncul secara spontan dari naluri mempertahankan diri, yaitu untuk membela diri. Di samping itu ikatan yang bersifat emosional sangat berpeluang untuk berubah-ubah, sehingga tidak bisa dijadikan ikatan yang langgeng antara manusia satu dengan yang lain.

(3) Karena ikatannya bersifat temporal, yaitu muncul saat membela diri karena datangnya ancaman. Sedangkan dalam keadaan stabil, yaitu keadaan normal, ikatan ini tak berarti lagi. Dengan demikian, tidak bisa dijadikan pengikat antara sesama manusia.

Demikian pula halnya dengan ikatan kesukuan termasuk ikatan yang rusak karena tiga hal:

(1) Karena berlandaskan pada qabilah/keturunan, sehingga tidak bisa dijadikan pengikat antara manusia satu dengan yang lainnya menuju kebangkitan dan kemajuan.

(2) Karena ikatannya bersifat emosional yang selalu didasarkan pada perasaan yang muncul secara spontan dari naluri mempertahankan diri, yang didalamnya terdapat keinginan dan ambisi untuk berkuasa.

(3) Karena ikatannya tidak manusiawi, sebab menimbulkan pertentangan dan perselisihan antar sesama manusia dalam berebut kekuasaan. Oleh karena itu, tidak bisa menjadi pengikat antara sesama manusia.

Selain ikatan-ikatan yang rusak tadi, masih terdapat ikatan lain yang dianggap oleh sebagian orang sebagai alat untuk mengikat anggota masyarakat, yaitu “ikatan kemaslahatan” dan ikatan kerohanian[i] yang tidak memiliki suatu peraturan.

Ikatan kemaslahatan tidak lain ikatan yang temporal sifatnya, tidak bisa dijadikan pengikat antar manusia. Hal ini disebabkan adanya peluang tawar menawar dalam mewujudkan kemaslahatan mana yang lebih besar, sehingga eksistensinya akan hilang begitu satu maslahat dipilih atau didahulukan dari maslahat yang lain. Apabila kemaslahatan itu telah ditentukan, berakhirlah persoalannya, kemudian orang-orangnya pun membubarkan diri, karena ikatan itu berakhir tatkala maslahat telah tercapai. Dengan demikian, ikatan ini amat berbahaya bagi para pengikutnya.

Adapun ikatan kerohanian yang tak memiliki peraturan, aktifitasnya hanya terlihat dari kegiatan spiritual saja. Ikatan ini tidak nampak dalam kancah kehidupan. Oleh karena itu, ikatan tersebut merupakan ikatan yang bersifat parsial (terbatas pada aspek kerohanian semata) yang tidak berhubungan dengan kehidupan sehari-hari, sehingga tidak layak menjadi pengikat antar manusia dalam seluruh aspek kehidupannya. Dari sini jelas bahwa aqidah yang dianut kaum Nashrani tidak dapat dijadikan pengikat antar bangsa-bangsa Eropa, walaupun semuanya menganut aqidah tersebut, karena tergolong ikatan kerohanian yang tidak memiliki peraturan hidup sama sekali.

Seluruh ikatan tadi tidak layak dijadikan pengikat antar manusia dalam kehidupannya, untuk meraih kebangkitan dan kemajuan. Ikatan yang benar untuk mengikat manusia dalam kehidupannya adalah aqidah aqliyah (aqidah yang sampai melalui proses berfikir) yang melahirkan peraturan hidup menyeluruh. Inilah yang disebut sebagai ikatan ideologis (berdasarkan pada suatu mabda/ideologi.)

Mabda adalah suatu aqidah aqliyah yang melahirkan peraturan. Yang dimaksud aqidah adalah pemikiran yang menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan hidup, serta tentang apa yang ada sebelum dan setelah kehidupan, di samping hubungannya dengan Zat yang ada sebelum dan sesudah alam kehidupan di dunia ini. Sedangkan peraturan yang lahir dari aqidah ini tidak lain berfungsi untuk memecahkan dan mengatasi berbagai problematika hidup manusia, menjelaskan bagaimana cara pelaksanaan pemecahannya, memelihara aqidah serta untuk mengemban mabda. Penjelasan tentang cara pelaksanaan, pemeliharaan aqidah, dan penyebaran risalah dakwah inilah yang dinamakan thariqah. Selain dari itu –yaitu aqidah dan berbagai pemecahan masalah hidup– dinamakan fikrah. Jadi mabda mencakup dua bagian, yaitu fikrah dan thariqah.

Mabda haruslah muncul di benak seseorang, baik melalui wahyu Allah yang diperintahkan untuk mendakwahkannya atau dari kejeniusan yang nampak pada diri orang itu.

Mabda yang tumbuh dalam benak manusia melalui wahyu Allah adalah mabda yang benar. Karena bersumber dari Al-Khaliq, yaitu Pencipta alam, manusia, dan hidup, yakni Allah SWT. Mabda ini pasti kebenarannya (qath’i). Sedangkan mabda yang tumbuh dalam benak manusia karena kejeniusan yang nampak pada dirinya adalah mabda yang salah (bathil). Karena berasal dari akal manusia yang terbatas, yang tidak mampu menjangkau segala sesuatu yang nyata. Juga karena pemahaman manusia terhadap proses lahirnya peraturan selalu menimbulkan perbedaan, perselisihan, dan pertentangan, serta selalu terpengaruh lingkungan dimana ia hidup di dalamnya. Sehingga membuahkan peraturan yang saling bertentangan, yang mendatangkan kesengsaraan bagi manusia. Oleh karena itu, mabda yang muncul dari benak seseorang adalah mabda yang salah, baik dilihat dari segi aqidahnya maupun peraturan yang lahir dari aqidah tersebut.

Atas dasar inilah asas suatu mabda (ideologi) adalah suatu ide dasar yang menyeluruh mengenai alam semesta, manusia, dan hidup. Sedangkan keberadaan thariqah (pola operasional) –yang membuat mabda ini terwujud dan terlaksana dalam kehidupan– adalah suatu keharusan dan kebutuhan dasar bagi ide itu sendiri agar mabda itu terwujud.

Adapun ide dasar yang menyeluruh menjadi asas, karena ide dasar tersebut merupakan aqidah bagi mabda yang menjadi landasan ideologi (qaidah fikriyah), sekaligus sebagai kepemimpinan berfikir/ideologi (qiyadah fikriyah). Dengan landasan ini dapatlah ditentukan arah pemikiran manusia dan atau pandangan hidupnya. Dengan landasan itu pula dapat dibangun seluruh pemikiran dan dapat dilahirkan seluruh pemecahan problema kehidupan.

Akan halnya thariqah sebagai suatu keharusan, karena peraturan yang lahir dari aqidah itu bila tidak memuat penjelasan-penjelasan; tentang bagaimana cara melaksanakan pemecahan, bagaimana cara memelihara/melindungi aqidah, bagaimana cara mengemban dakwah untuk menyebarluaskan mabda, maka ide dasar ini hanya akan menjadi suatu bentuk filsafat yang bersifat khayalan dan dugaan belaka, serta hanya tercantum dalam lembaran-lembaran buku, tanpa dapat mempengaruhi kehidupan. Oleh karena itu untuk dapat menjadi sebuah mabda, di samping harus ada aqidah, maka harus ada pula thariqah atau cara pelaksanaannya.

Hanya saja, dengan sekedar terdapatnya ide dan thariqah pada suatu aqidah yang memancarkan peraturan, tidak berarti bahwa mabda itu pasti benar, Akan tetapi hanya menunjukkan bahwa itu sekedar suatu mabda. Yang menjadi indikasi benar atau salahnya suatu mabda adalah aqidah mabda itu sendiri, apakah benar atau salah. Sebab, kedudukan aqidah ini adalah sebagai qaidah fikriyah, yang menjadi asas bagi setiap pemikiran yang muncul. Aqidah jugalah yang menentukan pandangan hidup dan yang melahirkan setiap pemecahan problema hidup serta pelaksanaannya (thariqah). Jika qaidah fikriyah-nya benar, maka mabda itu benar. Sebaliknya, jika qaidah fikriyah-nya salah, maka mabda itu dengan sendirinya salah dari akarnya.

Qaidah fikriyah ini apabila sesuai dengan fitrah manusia dan dibangun berlandaskan akal, maka berarti termasuk kaidah yang benar. Sebaliknya, jika bertentangan dengan fitrah manusia atau tidak dibangun berlandaskan akal yang sehat, maka kaidah itu bathil adanya. Sedangkan yang dimaksud qaidah fikriyah yang sesuai dengan fitrah manusia adalah pengakuannya terhadap apa yang ada dalam fitrah manusia, yaitu kelemahan dan kebutuhan dirinya pada Yang Maha Pencipta, Pengatur segalanya. Dengan kata lain, bahwa qaidah fikriyah itu sesuai dengan naluri beragama (gharizah tadayyun). Sedangkan yang dimaksud qaidah fikriyah dibangun di atas dasar akal yang sehat adalah bahwa kaidah ini tidak berlandaskan materi ataupun sikap mengambil jalan tengah.

Apabila kita telusuri seluruh dunia ini, maka yang kita dapati hanya ada tiga mabda (ideologi). Yaitu Kapitalisme, Sosialisme termasuk Komunisme, dan Islam. Dua mabda pertama, masing-masing diemban oleh satu atau beberapa negara. Sedangkan mabda yang ketiga yaitu Islam, tidak diemban oleh satu negarapun, melainkan diemban oleh individu-individu dalam masyarakat. Sekalipun demikian, mabda ini tetap ada di seluruh penjuru dunia.

Mengenai kapitalisme, sesungguhnya mabda ini tegak atas dasar pemisahan antara agama dengan kehidupan (sekularisme). Ide ini menjadi aqidahnya (sebagai asas), sekaligus sebagai qiyadah fikriyah (kepemimpinan ideologis), serta qaidah fikriyah (landasan berfikir)-nya. Atas dasar landasan berpikir ini, mereka berpendapat bahwa manusia sendirilah yang berhak membuat peraturan hidupnya. Diharuskan pula untuk mempertahankan kebebasan manusia yang terdiri dari kebebasan beraqidah, berpendapat, hak milik, dan kebebasan pribadi. Dari kebebasan hak milik ini dihasilkan sistem ekonomi kapitalis, yang merupakan hal yang paling menonjol dalam mabda ini atau yang dihasilkan oleh aqidah mabda ini. Oleh karena itu, mabda tersebut dinamakan mabda kapitalisme. Sebuah nama yang diambil dari aspek yang paling menonjol dalam mabda itu.

Akan halnya demokrasi yang dianut oleh mabda ini, berasal dari pandangannya bahwa manusia berhak membuat peraturan (undang-undang). Oleh karena itu, menurut keyakinan mereka, rakyat adalah sumber kekuasaan. Rakyatlah yang membuat perundang-undangan. Rakyat pula yang menggaji kepala negara untuk menjalankan undang-undang yang telah dibuatnya. Rakyat berhak mencabut kembali kekuasaan itu dari kepala negara, sekaligus menggantinya, termasuk merubah undang-undang sesuai dengan kehendaknya. Hal ini karena kekuasaan dalam sistem demokrasi adalah kontrak kerja antara rakyat dengan kepala negara yang digaji untuk menjalankan pemerintahan sesuai dengan undang-undang yang telah dibuat oleh rakyat.

Sekalipun demokrasi berasal dari ideologi mabda ini, akan tetapi kurang menonjol dibandingkan dengan sistem ekonominya. Buktinya sistem kapitalisme di Barat ternyata sangat mempengaruhi elite kekuasaan (pemerintahan) sehingga mereka tunduk kepada para kapitalis (pemilik modal, konglomerat). Bahkan hampir-hampir dapat dikatakan bahwa para kapitalislah yang menjadi penguasa sebenarnya di negara-negara yang menganut mabda ini. Di samping itu demokrasi bukanlah ciri khas dari mabda ini, sebab komunis pun juga menyuarakannya dan menyatakan bahwa kekuasaan berada di tangan rakyat. Oleh karena itu lebih tepat bila mabda ini dinamakan mabda kapitalisme.

Kelahiran mabda ini bermula pada saat kaisar dan raja-raja di Eropa dan Rusia menjadikan agama sebagai alat untuk memeras, menganiaya dan menghisap darah rakyat. Para pemuka agama, waktu itu, dijadikan perisai untuk mencapai keinginan mereka. Maka timbulah pergolakan sengit, yang kemudian membawa kebangkitan bagi para filosof dan cendekiawan. Sebagian mereka mengingkari adanya agama secara mutlak. Sedangkan yang lainnya mengakui adanya agama, tetapi menyerukan agar dipisahkan dari kehidupan dunia. Sampai akhirnya pendapat mayoritas dari kalangan filosof dan cendekiawan itu lebih cenderung memilih ide yang memisahkan agama dari kehidupan, yang kemudian menghasilkan usaha pemisahan antara agama dengan negara. Disepakati pula pendapat untuk tidak mempermasalahkan agama, dilihat dari segi apakah diakui atau ditolak. Sebab, yang menjadi masalah adalah agama itu harus dipisahkan dari kehidupan.

Ide ini dianggap sebagai kompromi antara pemuka agama yang menghendaki segala sesuatunya harus tunduk kepada mereka –dengan mengatasnamakan agama– dengan para filosof dan cendekiawan yang mengingkari adanya agama dan dominasi para pemuka agama. Jadi, ide sekulerisme ini sama sekali tidak mengingkari adanya agama, akan tetapi juga tidak memberikan peran dalam kehidupan. Yang mereka lakukan tidak lain memisahkannya dari kehidupan.

Berdasarkan hal ini, maka aqidah yang dianut oleh Barat secara keseluruhan adalah sekulerisme, pemisahan agama dari kehidupan. Aqidah ini merupakan qaidah fikriyah yang menjadi landasan setiap pemikiran. Di atas dasar inilah ditentukan setiap arah pemikiran manusia dan arah pandangan hidupnya. Berdasarkan hal ini pula, dipecahkan berbagai problematika hidup, lalu ideologi ini dijadikan sebagai qiyadah fikriyah yang diemban dan disebarluaskan oleh dunia Barat ke seluruh dunia.

Aqidah sekuler, yang memisahkan agama dari kehidupan, pada hakekatnya merupakan pengakuan secara tidak langsung akan adanya agama. Mereka mengakui adanya Pencipta alam semesta, manusia, dan hidup, serta mengakui adanya hari Kebangkitan. Sebab, semua itu adalah dasar pokok agama, ditinjau dari keberadaan suatu agama.

Dengan pengakuan ini berarti telah diberikan suatu ide tentang alam semesta, manusia, dan hidup, serta apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia, sebab mereka tidak menolak eksistensi agama. Namun tatkala ditetapkan bahwa agama harus dipisahkan dari kehidupan, maka pengakuan itu akhirnya hanya sekadar formalitas belaka, karena sekalipun mereka mengakui eksistensinya, tetapi pada dasarnya mereka menganggap bahwa kehidupan dunia ini tidak ada hubungannya dengan apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia.

Anggapan ini muncul ketika dinyatakan adanya pemisahan agama dari kehidupan, dan bahwasanya agama hanya sekedar hubungan antara individu dengan Penciptanya saja. Dengan demikian, didalam aqidah sekuler secara tersirat mengandung pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan hidup. Jadi mabda kapitalisme berdasarkan uraian yang dijelaskan di atas dianggap sebagai suatu mabda sebagaimana mabda-mabda yang lainnya.

Adapun sosialisme, termasuk juga komunisme, dua-duanya memandang bahwa alam semesta, manusia, dan hidup merupakan materi belaka, dan bahwasanya materi menjadi asal dari segala sesuatu. Dari perkembangan dan evolusi materi inilah benda-benda lainnya menjadi ada. Tidak ada satu zat pun yang terwujud sebelum alam materi ini.

Dalam pandangannya, materi itu bersifat azali (tak berawal dan tak berakhir), qadim (terdahulu) dan tidak seorangpun yang mengadakannya –dengan kata lain bersifat wajibul wujud (wajib adanya). Oleh karena itu, penganut ideologi ini mengingkari kalau alam ini diciptakan oleh Zat Yang Maha Pencipta. Mereka mengingkari aspek kerohanian dalam segala sesuatu, dan beranggapan bahwa pengakuan adanya aspek rohani merupakan sesuatu yang berbahaya bagi kehidupan. Agama dianggap sebagai candu yang meracuni masyarakat dan menghambat pekerjaan. Bagi mereka tidak ada sesuatu yang berwujud kecuali hanya materi, bahkan menurutnya, berpikir pun merupakan cerminan/refleksi dari materi ke dalam otak. Materi adalah pangkal berpikir dan pangkal dari segala sesuatu, yang berproses dan berkembang dengan sendirinya lalu mewujudkan segala sesuatu. Ini berarti mereka mengingkari adanya Sang Pencipta dan menganggap materi itu bersifat azali, serta mengingkari adanya sesuatu sebelum dan sesudah kehidupan dunia. Yang mereka akui hanya kehidupan dunia ini saja.

Meskipun kedua mabda kapitalisme dan sosialisme ini berselisih pendapat dalam ide dasar tentang manusia, alam, dan hidup, akan tetapi keduanya sepakat bahwa nilai-nilai yang paling tinggi dan terpuji pada manusia adalah nilai-nilai yang ditetapkan oleh manusia itu sendiri. Dan bahwasanya kebahagiaan itu adalah dengan memperoleh sebesar-besarnya kesenangan yang bersifat jasmaniah. Menurut pandangan kedua mabda ini, cara itu adalah jalan untuk mencapai kebahagiaan. Bahkan, itulah kebahagiaan yang sebenarnya. Keduanya juga sependapat dalam memberikan kebebasan pribadi bagi manusia, bebas berbuat semaunya menurut apa yang diinginkannya selama ia melihat dalam perbuatannya itu terdapat kebahagiaan. Maka dari itu tingkah laku atau kebebasan pribadi merupakan sesuatu yang diagung-agungkan oleh kedua mabda ini.

Akan tetapi kedua ideologi tersebut berbeda pandangannya tentang individu dan masyarakat. Kapitalisme adalah mabda individualis, yang berpendapat bahwa masyarakat terbentuk dari individu-individu. Mabda ini tidak memprioritaskan pandangannya terhadap masyarakat secara utuh, namun lebih mengutamakan pandangannya terhadap individu. Oleh karena itu, dalam kapitalisme kebebasan individu harus dijamin. Dan sebagai jaminan atas kemerdekaannya, masing-masing individu bekerja untuk (memelihara eksistensi) masyarakat. Bertolak dari sinilah kebebasan beraqidah (memilih sekehendaknya agama dan kepercayaan) adalah sebagian dari apa yang mereka agung-agungkan, sama halnya dengan kebebasan ekonomi yang mereka bangga-banggakan. Falsafah mabda ini tidak membatasi kebebasan tersebut, akan tetapi negara membatasai dengan menggunakan kekuatan militer dan ketegasan undang-undangnya. Namun demikian negara hanya berfungsi sebagai sarana, bukan tujuan. Untuk itulah, pada akhirnya kekuasaan tetap berada pada individu dan bukan pada negara. Dengan demikian mabda kapitalis mengemban suatu ide yang dijadikan sebagai dasar untuk memimpin bangsa-bangsa (qiyadah fikriyah), yaitu pemisahan antara agama dengan kehidupan. Berdasarkan ideologi inilah kapitalisme menjalankan roda pemerintahan dan peraturan-peraturannya, mempropagandakan, serta berusaha terus-menerus untuk menerapkannya di setiap tempat.

Adapun sosialisme, termasuk komunisme adalah mabda yang memandang masyarakat sebagai satu kesatuan yang menyeluruh, yang terdiri dari manusia dan interaksinya dengan alam. Hubungan ini bersifat mutlak dan pasti, serta mereka tunduk padanya secara mutlak dan otomatis. Kesatuan ini secara keseluruhan merupakan satu bagian yang tak terpisahkan, yang terdiri dari alam, manusia, dan interaksinya, yang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Manusia secara individu merupakan bagian dari alam. Faktor ini menonjol pada diri manusia. Manusia tidak akan berkembang tanpa berhubungan dengan aspek ini, atau tanpa tergantung kepada alam. Hubungannya dengan alam merupakan hubungan antar sesama zat. Oleh karena itu, masyarakat dianggap sebagai satu kesatuan yang berkembang secara serempak. Masing-masing berputar mengikuti yang lain sebagaimana berputarnya gigi dalam sebuah roda. Konsekwensinya mereka tidak mengenal istilah kebebasan beraqidah bagi masing-masing individu dan kebebasan ekonomi bagi negara dan masyarakat. Aqidahnya ditentukan berdasarkan kemauan negara, demikian juga halnya dengan ekonomi. Atas dasar inilah negara termasuk salah satu hal yang diagung-agungkan oleh mabda ini. Bertolak dari filsafat materialisme ini lahirlah aturan-aturan kehidupan dan sistem ekonomi. Sistem ekonomi dijadikan sebagai asas yang merupakan manifestasi bagi semua peraturan yang ada.

Mabda sosialisme, termasuk komunisme, mengemban suatu ide yang dijadikan sebagai dasar untuk memimpin bangsa-bangsa, yaitu dialektika materialisme dan evolusi materialisme. Di atas asas inilah mereka menjalankan roda pemerintahan dan peraturan-peraturannya serta mempropagandakan ideologinya dan berusaha untuk menerapkannya di setiap tempat di belahan bumi ini.

Adapun Islam menerangkan bahwa di balik alam semesta, manusia, dan hidup, terdapat Al-Khaliq yang menciptakan segala sesuatu, yaitu Allah SWT. Asas mabda ini adalah keyakinan akan adanya Allah SWT. Aqidah ini yang menentukan aspek rohani, yaitu bahwa manusia, hidup, dan alam semesta, diciptakan oleh Al-Khaliq. Dari sini nampak bahwa hubungan antara alam sebagai makhluk, dengan Allah SWT sebagai Pencipta adalah adalah aspek rohani yang ada pada alam. Tampak pula hubungan antara hidup sebagai makhluk dengan Allah SWT sebagai Pencipta, yang menjadi aspek rohani pada hidup. Demikian pula halnya dengan hubungan manusia sebagai makhluk, dengan Allah sebagai Pencipta, merupakan aspek rohani yang ada pada manusia. Dari sini diketahui bahwa ruh (spirit) adalah kesadaran manusia akan hubungan dirinya dengan Allah SWT.

Iman kepada Allah SWT harus disertai dengan keharusan beriman kepada kenabian Muhammad SAW, berikut risalahnya; juga bahwasanya Al-Quran itu adalah Kalamullah dan harus beriman terhadap seluruh apa yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, aqidah Islam menetapkan bahwa sebelum kehidupan ini ada sesuatu yang wajib diimani keberadaannya, yaitu Allah SWT, dan menetapkan pula iman terhadap alam sesudah kehidupan dunia, yaitu hari Kiamat. Juga bahwasanya manusia dalam kehidupan dunia ini terikat dengan perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya, yang merupakan hubungan kehidupan ini dengan sebelumnya. Manusia terikat pula dengan pertanggungjawaban atas kepatuhannya memenuhi semua perintah dan menjauhi semua larangan-Nya, yang hal ini merupakan hubungan kehidupan dunia dengan sesudahnya.

Setiap muslim harus mengetahui hubungan dirinya dengan Allah pada saat melakukan suatu perbuatan, sehingga seluruh amal perbuatannya relevan dengan perintah-perintah dan larangan-larangan Allah. Inilah yang dimaksud dengan perpaduan antara materi dengan ruh. Di samping itu, tujuan akhir dari kepatuhannya terhadap perintah-perintah Allah SWT dan larangan-larangan-Nya adalah mendapatkan keridlaan-Nya semata. Sedangkan sasaran yang hendak dicapai oleh manusia dalam pelaksanaan perbuatan adalah tercapainya nilai (kehidupan), yang dihasilkan oleh amal perbuatannya.

Dengan demikian tujuan-tujuan utama untuk menjaga masyarakat bukan ditentukan oleh manusia, akan tetapi berasal dari perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya. Aturan ini selalu tetap keadaannya, tidak akan berubah atau berkembang. Oleh karena itu, melestarikan eksistensi manusia, menjaga akal, kehormatan, jiwa, pemilikan individu, agama, keamanan dan negara, adalah tujuan-tujuan utama yang fixed, yang tidak akan berubah ataupun berkembang. Untuk menjaganya ditetapkan sanksi-sanksi yang tegas. Maka dibuatlah hukum-hukum yang menyangkut hudud (sanksi) dan uqubat (pidana, hukuman, pelanggaran terhadap peraturan negara) untuk memelihara tujuan-tujuan yang bersifat baku tadi.

Dengan demikian pelaksanaan pemeliharaan tujuan-tujuan ini wajib adanya, karena merupakan perintah-perintah dan larangan-larangan dari Allah SWT, bukan hanya karena menghasilkan nilai-nilai materi (mashlahat dan keuntungan bagi masyarakat dan negara, pent.)

Demikianlah hendaknya setiap muslim dan juga negara dalam menjalankan seluruh aktifitasnya menyesuaikan diri dengan perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya, karena negaralah yang mengatur seluruh urusan rakyat. Dan dengan melaksanakan aktifitasnya sesuai dengan perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya inilah yang melahirkan ketenangan bagi setiap muslim. Dari sini jelaslah bahwa kebahagiaan itu, bukan sekedar memenuhi kebutuhan jasmani dan memperoleh kesenangan semata, melainkan mendapatkan keridlaan Allah SWT.

Sedangkan kebutuhan jasmani dan naluri manusia, Islam telah membuat aturan yang menjamin adanya pemenuhan seluruh kebutuhannya, baik yang menyangkut kebutuhan perut, biologis, rohani, atau kebutuhan lainnya. Namun tidak berarti bahwa pemenuhan sebagian kebutuhan mengeliminir kebutuhan yang lain; atau, mengekang sebagian lalu mengumbar sebagian atau keseluruhannya. Islam menserasikannya dan memenuhi seluruh kebutuhan manusia dengan aturan yang amat rinci dan mendetail, yang akan memungkinkan manusia mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan, serta mencegah terjadinya hal-hal yang dapat menjerumuskannya pada martabat hewani — yaitu pelampiasan naluri tanpa kendali.

Untuk menjamin pengaturan ini, Islam memandang jemaah (masyarakat) secara keseluruhan, tidak terpecah-pecah. Islam memandang bahwa individu merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari jamaah. Hanya saja posisi seperti ini tidak identik dengan gerigi dalam roda, melainkan merupakan bagian dari suatu keseluruhan –sebagaimana tangan yang merupakan bagian dari tubuh. Islam memperhatikan individu sebagai bagian dari jamaah, bukan individu yang terpisah. Perhatian ini akan melestarikan eksistensi jamaah. Pada waktu yang bersamaan, Islam juga memperhatikan keberadaan jamaah yang menjadi wadah dan terdiri dari bagian-bagian tertentu, yaitu individu-individu yang ada di dalam jamaah. Perhatian ini dapat melestarikan individu-individu sebagai bagian yang tak terlepas dari jamaah. Rasulullah SAW bersabda:

مَثَلُ القَائِم عَلى حُدُودِ الله وَالرَاقِع فِيها كَمثلِ قَوم اشتَهَمُّوا عَلى سَفِينَةٍ فَأصَابُ بَعضهُم أَعْلاهَا وَبَعْضُهُم أَسْفَلهَا فَكانَ الَّذِينَ في أَسْفَلِهَا اِذَا اسْتَقُوْا مِن اْلماَءِ مرُّوْا عَلى مَنْ فَوْقهُمْ، فَقَالُوْا لَوْ أَنا خَرَقْنَا في نَصِيْبِنَا خَرْقًا وَلَم نُؤْذِ مَنْ فَوْقِنا، فَإِنْ تَرَكُوْهُم وَمَا أَرَادُوْا هَلَكُوْا جَمِيْعًا، وَإِنْ أَخَذُوْا عَلى أَيْدِيْهِمْ نَجُّوْا وَنَجُّوْا جَمِيْعًا

“Perumpamaan orang-orang yang mencegah berbuat maksiat dan yang melanggarnya adalah seperti kaum yang menumpang kapal. Sebagian dari mereka berada di bagian atas dan yang lain berada di bagian bawah. Jika orang-orang yang berada di bawah membutuhkan air, mereka harus melewati orang-orang yang berada di atasnya. Lalu mereka berkata: ‘Andai saja kami lubangi (kapal) pada bagian kami, tentu kami tidak akan menyakiti orang-orang yang berada di atas kami’. Tetapi jika yang demikian itu dibiarkan oleh orang-orang yang berada di atas (padahal mereka tidak menghendaki), akan binasalah seluruhnya. Dan jika dikehendaki dari tangan mereka keselamatan, maka akan selamatlah semuanya”.[ii]

Pandangan Islam tentang hubungan antara jamaah dengan individu inilah yang memberikan persepsi (mafhum) yang khas terhadap masyarakat. Sebab individu-individu –yang merupakan bagian dari jamaah– harus memiliki pemikiran-pemikiran yang menghubungkan antar mereka dan menjadikan kehidupannya berlandaskan ide-ide tersebut. Mereka harus memiliki satu perasaan yang akan mempengaruhi tingkah laku mereka dan mendorongnya untuk melakukan sesuatu. Mereka harus memiliki pula satu aturan yang dapat memecahkan persoalan-persoalan kehidupan secara keseluruhan. Dari sini masyarakat itu akan terbentuk, yaitu terdiri dari manusia, pemikiran, perasaan, dan peraturan. Manusia dalam kehidupannya selalu terikat dengan pemikiran, perasaan, dan peraturan ini.

Oleh karena itu, bagi seorang muslim segala sesuatu dalam kehidupannya selalu terikat dengan Islam, sehingga tidak memiliki kebebasan mutlak. Aqidah seorang muslim terikat dengan batas-batas Islam dan tidak bebas. Maka murtadnya seorang muslim merupakan tindak pidana besar yang pantas dibunuh apabila tidak segera kembali bertaubat kepada Islam. Dari segi tingkah laku, seorang muslim juga terikat dengan aturan Islam. Atas dasar inilah perbuatan zina merupakan tindak pidana,dan terhadap pelakunya berhak diberikan sanksi tanpa ada perasaan belas kasihan, bahkan hukuman itu diumumkan kepada khalayak, sebagaimana firman Allah SWT:

وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ

“(Dan) Hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang yang beriman”

(An-Nuur 2).

Begitu pula halnya dengan minum khamr yang termasuk tindakan kriminal, pelakunya pantas mendapatkan hukuman. Penganiayaan terhadap orang lain termasuk tindak pidana yang hukumannya tergantung jenis pelanggaran yang dilakukannya. Misalnya menuduh berbuat zina, membunuh, dan sebagainya.

Aspek ekonomi juga terikat dengan syariat Islam dan sebab-sebab pemilikan yang dibolehkan syara’ untuk individu, serta realitas pemilikan yang merupakan izin dari Syari’ (Allah SWT) untuk memperoleh manfaat suatu benda. Penyimpangan dari batasan-batasan ini termasuk dalam tindak pidana yang hukumannya bisa berbeda tergantung macam penyimpangannya, misalnya mencuri, menjambret, dan sebagainya.

Oleh karena itu harus ada negara yang berkewajiban melindungi jamaah dan individu, serta yang menerapkan peraturan di tengah-tengah masyarakat. Di samping itu diharuskan adanya pengaruh dari mabda (Islam) dalam diri penganutnya, agar pelaksanaan peraturan tersebut dapat terjaga secara normal dari dalam masyarakat itu sendiri. Jadi, mabda-lah yang mengikat dan melindungi, sedangkan negara adalah pelaksananya.

Berdasarkan keterangan ini, maka kedaulatan adalah milik syara’, bukan milik negara atau umat, sekalipun kekuasaan berada di tangan umat, yang secara lahiriyah ada di tangan negara. Dari sini, maka satu-satunya thariqah yang ditempuh dalam menerapkan peraturan adalah melalui negara, di samping menjadikan taqwallah pada individu mukmin sebagai sandaran untuk menerapkan hukum-hukum Islam. Karena itu amat diperlukan adanya peraturan yang harus diterapkan oleh negara; begitu pula halnya dengan nasehat dan dorongan agar individu mukmin menerapkan Islam berdasarkan taqwallah. Jadi, dapat dikatakan bahwa Islam adalah aqidah dan nizham (peraturan); atau dengan kata lain mabda Islam adalah fikrah dan thariqah yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari fikrah tersebut.

Peraturan Islam lahir dari aqidah. Sedangkan peradabannya memiliki model dan ciri yang khas dalam kehidupan. Metode Islam dalam pengembangan dakwah adalah diterapkannya Islam oleh negara dan diemban sebagai qiyadah fikriyah ke seluruh dunia. Metode ini harus dijadikan asas untuk memahami dan menerapkan peraturan Islam. Perlu diketahui bahwa penerapan Islam oleh jamaah kaum muslimin yang hidup dalam pemerintahan yang menerapkan hukum Islam, adalah termasuk upaya-upaya menyebarluaskan dakwah Islam; karena penerapan peraturan Islam di tengah-tengah non muslim tergolong metoda dakwah yang bersifat praktis. Dahulu penerapan peraturan Islam telah berhasil memberikan pengaruh dengan gemilang dalam mewujudkan dunia Islam yang wilayahnya sangat luas.

Walhasil, ideologi yang ada di dunia ini ada tiga, yaitu kapitalisme, sosialisme termasuk komunisme, dan Islam. Masing-masing ideologi ini memiliki aqidah yang melahirkan aturan serta mempunyai tolok ukur bagi perbuatan manusia di dalam kehidupan, memiliki pandangan khas terhadap masyarakat dan memiliki metoda tertentu dalam melaksanakan setiap aturannya.

Dari segi aqidah, ideologi komunis memandang bahwa segala sesuatu berasal dari materi yang berkembang dan mewujudkan benda-benda lainnya berdasarkan evolusi. Sedangkan ideologi kapitalis mengharuskan pemisahan agama dari kehidupan. Sebagai akibatnya lahirlah ideologi sekuler, yang memisahkan agama dengan negara. Para kapitalis tidak ingin membahas apakah di sana terdapat pencipta atau tidak. Mereka –baik yang mengakui eksistensi-Nya maupun yang tidak– hanya membahas bahwa tidak ada hak bagi Pencipta untuk campur tangan dalam kehidupan ini. Jadi, sama saja kedudukannya bagi mereka yang mengakui keberadaan Pencipta atau yang mengingkari-Nya, yaitu memisahkan agama dari kehidupan.

Adapun Islam memandang bahwa Allah adalah Pencipta bagi segala sesuatu. Dialah yang mengutus para Nabi dan Rasul dengan membawa agama-Nya untuk seluruh umat manusia; dan bahwa kelak manusia akan di-hisab atas perbuatan-perbuatannya di hari kiamat. Karena itu, aqidah Islam mencakup Iman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, dan hari kiamat, serta qadla-qadar, baik buruknya dari Allah SWT.

Dari segi bagaimana lahirnya peraturan dari aqidah, ideologi komunis memandang bahwa peraturan diambil dari alat-alat produksi. Sebab, pada masyarakat feodal, misalnya, kapaklah yang menjadi alat produksi. Dengan penggunaan kapak ini lalu ditetapkan sistem feodalisme. Apabila masyarakat berkembang menjadi masyarakat kapitalis, maka alat mesinlah yang menjadi sarana produksi. Dengan penggunaan mesin ini terbentuklah sistem kapitalisme. Jadi, peraturan mabda itu diambil dari evolusi materi.

Lain halnya dengan ideologi kapitalis, yang memandang bahwa manusia –karena memisahkan agama dengan kehidupan– harus membuat peraturan sendiri tentang kehidupan. Karenanya, peraturan dalam sistem kapitalis diambil dari realita dan dinamika kehidupan manusia. Dari sinilah masyarakat kapitalis membuat aturannya sendiri.

Sedangkan Islam memandang bahwa Allah SWT telah menentukan bagi manusia suatu aturan hidup untuk dilaksanakan dalam kehidupan ini. Dia mengutus Sayyidina Muhammad SAW guna membawa aturan-Nya untuk disampaikan kepada manusia. Konsekuensinya, kehidupan ini harus dijalankan sesuai dengan aturan tersebut. Oleh karena itu, masyarakat yang telah menerima Islam senantiasa mempelajari persoalan hidup yang selalu berkembang, lalu berijtihad memecahkan masalah yang dihadapinya berdasarkan Al-Quran dan As-Sunah.

Adapun dari segi tolok ukur bagi segala macam perbuatan dalam kehidupan, ideologi komunis memandang bahwa dialektika materialisme –yaitu aturan materialisme– merupakan tolok ukur dalam kehidupan manusia. Dengan berkembangnya aturan materialis, berkembang pula tolok ukurnya. Sedangkan ideologi kapitalis memandang bahwa tolok ukur perbuatan dalam kehidupan adalah ”kemanfaatan”. Dengan asas inilah perbuatan diukur dan ditegakkan. Namun, Islam memandang bahwa tolok ukur perbuatan-perbuatan dalam kehidupan adalah halal dan haram, yakni perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya. Jadi, yang halal dikerjakan dan yang haram ditinggalkan. Prinsip ini tidak akan mengalami perkembangan maupun perubahan. Islam tidak menjadikan manfaat sebagai tolok ukur, melainkan hanya syara semata.

Dari segi pandangannya terhadap masyarakat, ideologi komunis memandang bahwa masyarakat adalah kumpulan unsur yang terdiri dari tanah, alat-alat produksi, alam, dan manusia. Semua itu merupakan satu kesatuan, yaitu materi. Tatkala alam dan segala sesuatu yang ada di dalamnya berkembang, manusia pun turut berkembang, yang akhirnya menjadikan masyarakat berkembang secara keseluruhan. Oleh karena itu, masyarakat komunis tunduk kepada evolusi materi, sementara manusia harus terus berusaha untuk mempercepat transformasi yang bertolak belakang (antithesa) dengan kehendaknya. Ketika masyarakat berkembang, individu akan turut berkembang pula. Individu akan bergerak dan selalu terikat dengan gerakan masyarakat, seperti putaran gigi pada sebuah roda.

Ideologi kapitalis memandang bahwa masyarakat terdiri dari individu-individu. Apabila urusan individu ini teratur, maka dengan sendirinya urusan masyarakat akan teratur pula. Titik perhatiannya adalah individu-individu saja. Sementara tugas negara adalah bekerja untuk kepentingan individu. Dari sini, ideologi ini disebut juga individualisme.

Sedangkan ideologi Islam memandang bahwa asas tempat masyarakat berpijak adalah aqidah, disamping pemikiran, perasaan, dan peraturan yang lahir dari aqidah. Oleh karena itu apabila pemikiran dan perasaan Islam ini berkembang luas, dan peraturan Islam diterapkan di tengah-tengah rakyat, barulah terbentuk masyarakat Islam. Dengan demikian, mayarakat itu sebenarnya terdiri dari kumpulan manusia, pemikiran, perasaan, dan peraturan.

Islam juga memandang bahwa manusia satu dengan manusia lainnya akan membentuk sebuah jamaah, namun tetap tidak akan membentuk sebuah masyarakat kecuali jika mereka menganut pemikiran, memiliki perasaan, serta diterapkannya peraturan di tengah-tengah mereka. Sebab, yang mewujudkan hubungan sesama manusia adalah faktor kemashlahatan dan bila masyarakat telah menyamakan pemikirannya tentang kemashlahatan, juga perasan mereka, sehingga rasa ridla dan marahnya menjadi sama, ditambah pula adanya penerapan peraturan yang sama, yang mampu memecahkan berbagai macam persoalan, maka terbentuklah hubungan antar sesama anggota masyarakat. Apabila terdapat perbedaan dalam pemikiran masyarakat terhadap kemashlahatan, berbeda perasaannya, berbeda rasa ridla dan marah (benci)nya, berbeda pula peraturan yang digunakan untuk memecahkan persoalan antar manusia, maka tidak akan terdapat hubungan dengan sesama manusia dan tidak akan terbentuk masyarakat. Maka, masyarakat Islam terbentuk dari manusia, pemikiran, perasaan, dan peraturan. Inilah yang mewujudkan adanya hubungan dan yang membuat jamaah itu menjadi sebuah masyarakat yang memiliki ciri khas.

Seandainya seluruh manusia itu muslim, sedangkan pemikiran-pemikiran yang dibawanya adalah kapitalisme-demokrasi, sementara perasaan-perasan yang dibawanya adalah spiritualisme semata (tanpa disertai aturan), atau nasionalisme; sedangkan aturan yang diterapkan adalah aturan kapitalisme-demokrasi, maka masyarakatnya menjadi masyarakat yang tidak Islami sekalipun mayoritas penduduknya adalah orang-orang Islam.

Dilihat dari segi penerapan aturan, ideologi komunis mengajarkan hanya negara adalah satu-satunya institusi yang berhak menerapkan peraturan melalui kekuatan militer dan undang-undang. Negara yang mengatur dan bertanggung jawab terhadap urusan individu dan kelompok masyarakat. Negara pula yang berhak mengubah peraturan.

Sedangkan ideologi kapitalisme memandang bahwa negara adalah pihak yang mengontrol kebebasan. Jika seseorang melanggar kebebasan individu lainnya, maka negara akan mencegah tindakan tersebut. Bahkan keberadaan negara adalah sarana untuk menjamin adanya kebebasan. Akan tetapi jika seseorang tidak mengganggu kebebasan yang lain, sekalipun terdapat intimidasi serta perampasan terhadap hak-haknya, namun ia rela, maka hal itu tidak termasuk dalam kategori tindakan melanggar kebebasan. Dalam hal ini negara tidak akan turut campur. Jadi, terwujudnya negara adalah untuk memberi jaminan agar ada kebebasan.

Lain halnya dengan Islam yang memandang bahwa aturan dilaksanakan oleh setiap individu mukmin dengan dorongan taqwallah yang tumbuh dalam jiwanya. Sementara teknis pelaksanaannya dijalankan oleh negara dengan adil, yang dapat dirasakan oleh jamaah. Juga dengan adanya sikap tolong menolong antara umat dengan negara dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar; serta diterapkannya (peraturan) dengan kekuatan negara. Dalam Islam negaralah yang bertanggungjawab terhadap urusan jamaah. Negara tidak mengurus kepentingan individu, kecuali bagi mereka yang fisiknya lemah (tidak mampu). Selain itu, peraturan Islam tidak mengalami perubahan selamanya, tidak ada evolusi (dalam peraturan). Negara, dalam hal ini Khalifah, memiliki wewenang untuk memilih dan menetapkan hukum-hukum syara’ jika ijtihad dalam satu atau lebih topik hukum menghasilkan beragam pendapat.

Dari sisi lain qiyadah fikriyah Islam tidak bertentangan dengan fitrah manusia, walaupun sangat mendalam tetapi gampang dimengerti, cepat membuka akal dan hati manusia, cepat diterima dan mudah dipahami, untuk mendalami isinya –sekalipun kompleks– dengan penuh semangat dan kesungguhan. Karena memang beragama adalah satu hal yang fitri dalam diri manusia. Setiap manusia menurut fitrahnya cenderung kepada agama. Tidak ada satu kekuatan manapun yang dapat mencabut fitrah ini dari manusia, sebab merupakan pembawaan yang kokoh. Sementara tabi’at manusia merasakan bahwa dirinya serba kurang, selalu merasa bahwa ada kekuatan yang lebih sempurna dibandingkan dirinya yang harus diagungkan. Beragama merupakan kebutuhan terhadap Pencipta Yang Maha Pengatur, yang muncul dari kelemahan manusia dan bersifat alami sejak manusia diciptakan. Jadi, beragama merupakan naluri yang bersifat tetap yang selalu mendorong manusia untuk mengagungkan dan mensucikan-Nya. Oleh karena itu, dalam setiap masa, manusia senantiasa cenderung untuk beragama dan menyembah sesuatu. Ada yang menyembah manusia, menyembah bintang-bintang, batu, binatang, api, dan lain sebagainya. Tatkala Islam muncul di dunia, aqidah yang dibawanya bertujuan untuk mengalihkan umat manusia dari penyembahan terhadap makhluk-makhluk kepada penyembahan terhadap Allah yang menciptakan segala sesuatu.

Akan tetapi ketika muncul ideologi dialektika materialisme, yang mengingkari adanya Allah dan ruh, ternyata ide ini tidak mampu memusnahkan kecenderungan beragama. Ideologi ini hanya bisa mengalihkan pandangan manusia kepada suatu kekuatan yang lebih besar dibanding dirinya dan mengalihkan perasaan taqdis kepada kekuatan besar tersebut. Menurut mereka, kekuatan itu berada di dalam ideologi dan diri para pengikutnya. Mereka membatasi taqdis hanya pada kedua unsur itu. Berarti, mereka telah mengembalikan manusia ke masa silam, masa animisme; mengalihkan penyembahan kepada Allah ke penyembahan makhluk-makhluk-Nya; dari pengagungan terhadap ayat-ayat Allah kepada pengkultusan terhadap doktrin-doktrin yang diucapkan makhluk-makhluk-Nya. Semua ini menyebabkan kemunduran manusia ke masa silam. Mereka tidak mampu memusnahkan fitrah beragama, melainkan hanya mengalihkan fitrah manusia secara keliru kepada kesesatan dengan mengembalikannya ke masa animisme. Berdasarkan hal ini, qiyadah fikriyah-nya telah gagal ditinjau dari fitrah manusia. Malah dengan berbagai tipu muslihat, mereka mengajak orang-orang untuk menerimanya; dengan mendramatisir kebutuhan perut mereka menarik orang-orang yang lapar, pengecut, dan sengsara. Ideologi ini dianut oleh orang-orang yang bermoral bejat, atau yang gagal dan benci terhadap kehidupan termasuk orang-orang sinting yang tidak waras cara berfikirnya agar mereka dapat digolongkan ke jajaran kaum intelektual tatkala mereka mendiskusikan dengan angkuh tentang teori dialektika ini. Padahal kenyataannya, dialektika materialisme paling terlihat kerusakan dan kebathilannya, dan dengan sangat mudah dapat dibuktikan oleh perasaan fitri dan akal sehat.

Supaya manusia tunduk pada ideologi ini, maka dipaksa melalui kekuatan fisik. Maka tekanan, intimidasi, revolusi, menggoyang, merobohkan, dan mengacaukan merupakan sarana-sarana yang penting untuk mengembangkan ideologi tersebut.

Demikian pula qiyadah fikriyah kapitalis bertentangan dengan fitrah manusia, yaitu naluri beragama. Naluri beragama tampak dalam aktivitas pen-taqdis-an; di samping juga tampak dalam pengaturan manusia terhadap aktivitas hidupnya. Akan tampak perbedaan dan pertentangannya tatkala pengaturan itu berjalan. Hal ini menunjukkan tanda kelemahan manusia dalam mengatur aktivitasnya. Oleh karena itu, keberadaan agama haruslah dapat mengatur seluruh amal perbuatan manusia dalam kehidupan. Menjauhkan agama dari kehidupan jelas bertentangan dengan fitrah manusia. Namun bukan berarti bahwa adanya agama dalam kehidupan menjadikan seluruh amal perbuatan manusia terbatas hanya pada aktivitas ibadah saja. Tetapi arti pentingnya agama dalam kehidupan adalah untuk mengatasi berbagai persoalan hidup manusia sesuai dengan peraturan yang Allah perintahkan. Peraturan dan sistem ini lahir dari aqidah yang mengakui apa yang terkandung dalam fitrah manusia, yaitu naluri beragama.

Menjauhkan peraturan Allah dan mengambil peraturan yang lahir dari suatu aqidah yang tidak sesuai dengan naluri beragama adalah bertentangan dengan fitrah manusia. Maka dari itu, qiyadah fikriyah kapitalisme telah gagal dilihat dari segi fitrah manusia. Ia adalah qiyadah fikriyah negatif, yang memisahkan antara agama dengan kehidupan, menjauhkan aktivitas beragama dari kehidupan, menjadikan masalah agama sebagai masalah pribadi (bukan masalah masyarakat), sekaligus menjauhkan peraturan yang Allah perintahkan dari problematika hidup manusia dan pemecahannya.

Qiyadah fikriyah Islam adalah qiyadah fikriyah yang positif. Karena menjadikan akal sebagai dasar untuk beriman kepada wujud Allah. Qiyadah ini mengarahkan perhatian manusia terhadap alam semesta, manusia, dan hidup, sehingga membuat manusia yakin terhadap adanya Allah yang telah menciptakan makhluk-makhluk-Nya. Di samping itu qiyadah ini menunjukkan kesempurnaan mutlak yang selalu dicari oleh manusia karena dorongan fitrahnya. Kesempurnaan itu tidak terdapat pada manusia, alam semesta, dan hidup. Qiyadah fikriyah ini memberi petunjuk pada akal agar dapat sampai pada tingkat keyakinan terhadap Al-Khaliq supaya ia mudah menjangkau keberadaan-Nya dan mengimani-Nya.

Qiyadah fikriyah komunisme bersandar pada materialisme bukan berdasarkan akal, sekalipun dihasilkan oleh akal, karena ide komunisme menyatakan bahwa materi itu ada sebelum adanya pemikiran (pengetahuan). Disamping itu karena ide ini menjadikan segala sesuatu berasal dari materi. Dengan demikian, ide ini bersifat materialistis. Sedangkan qiyadah fikriyah kapitalisme bersandar pada pemecahan jalan tengah (kompromi) yang dicapai setelah terjadinya pertentangan yang berlangsung hingga beberapa abad di kalangan para pendeta gereja dan cendekiawan Barat yang kemudian menghasilkan pemisahan agama dari negara. Qiyadah fikriyah komunisme dan kapitalisme telah gagal. Sebab, keduanya bertentangan dengan fitrah manusia dan tidak dibangun berdasarkan akal.

Berdasarkan keterangan tadi, hanya qiyadah fikriyah Islamlah satu-satunya qiyadah fikriyah yang benar, sedangkan qiyadah fikriyah lainnya adalah rusak. Qiyadah fikriyah Islam dibangun berdasarkan akal, amat berbeda dengan qiyadah-qiyadah fikriyah lainnya yang tidak dibangun berlandaskan akal. Di samping itu, qiyadah fikriyah Islam sesuai dengan fitrah manusia, sehingga mudah diterima oleh manusia. Sedangkan qiyadah fikriyah lainnya berlawanan dengan fitrah manusia.

Bukti bahwa qiyadah fikriyah komunisme dibangun berlandaskan materialisme bukan akal adalah karena ideologi ini menyatakan bahwa materi mendahului pemikiran (pengetahuan). Jadi tatkala otak memantulkan materi akan menghasilkan pemikiran; kemudian otak akan memikirkan/mempertimbangkan hakekat materi yang dipantulkan ke otak. Sebelum hal itu terjadi, tentu tidak akan muncul pemikiran. Dengan demikian, segala sesuatu, menurut komunis, haruslah berlandaskan pada materi. Maka dasar aqidah komunisme adalah materi bukan pemikiran. Pendapat di atas adalah salah ditinjau dari dua segi :

Pertama, sebenarnya tidak ada refleksi/pantulan antara materi dengan otak. Otak tidak melakukan refleksi dengan materi. Juga, materi tidak berefleksi dengan otak. Sebab untuk merefleksikan sesuatu dibutuhkan reflektor untuk memantulkan dan memfokuskan, seperti halnya cermin yang memiliki kemampuan untuk memantulkan. Tetapi kenyataannya, hal semacam itu tidak ada, baik di otak maupun pada materinya. Oleh karena itu, tidak ada refleksi antara materi dengan otak secara mutlak. Materi tidak dipantulkan oleh otak dan (gambaran tentang) materi tidak berpindah ke otak. Yang beralih ke otak adalah pencerapan tentang materi (kesannya) melalui panca indera. Hal ini bukan refleksi antara materi dengan otak, dan bukan pula refleksi antara otak dengan materi, melainkan pencerapan tentang materi (melalui panca indera). Tidak ada perbedaan dalam proses tersebut antara mata dengan panca indera yang lainnya. Penginderaan dapat terjadi dengan proses perabaan, penciuman, rasa, pendengaran sebagaimana halnya penginderaan melalui mata. Dengan demikian yang terjadi dari suatu materi bukanlah berupa refleksi terhadap otak, melainkan pencerapan dan penginderaan terhadap (segala) sesuatu. Manusialah yang merasakan segala sesuatu dengan perantaraan panca inderanya, dan materi tidak direfleksikan.

Kedua, sesungguhnya penginderaan saja tidaklah cukup menghasilkan suatu pemikiran. Sebab kalau hanya sampai di situ, yang terjadi hanyalah penginderaan saja terhadap fakta (materi). Penginderaan yang diulang-ulang meskipun sampai satu juta kali, tetap saja hanya menghasilkan penginderaan dan tidak menghasilkan pemikiran sama sekali. Proses tersebut mengharuskan adanya beberapa pengetahuan terdahulu bagi manusia yang akan menginterpretasikan fakta yang diinderanya itu sehingga menghasilkan suatu pengetahuan.

Sebagai contoh kita ambil manusia yang ada sekarang. Manusia, siapapun orangnya apabila diberikan kepadanya buku berbahasa suryani sementara ia tidak memiliki pengetahuan yang berkaitan dengan bahasa suryani, lalu dibiarkan mencerap tulisan itu baik dengan penglihatan maupun dengan perabaan, diberi kesempatan menginderanya berkali-kali –meskipun sejuta kali– maka ia tetap tidak mungkin mengetahui satu katapun sampai diberikan kepadanya beberapa pengetahuan tentang bahasa suryani dan apa saja yang berkaitan dengan bahasa tersebut. Pada saat itulah ia baru mulai berfikir dengan bahasa tersebut dan mampu memahaminya.

Contoh lain adalah anak kecil yang sudah mampu mengindera, tetapi belum memiliki pengetahuan, kemudian di hadapannya disodorkan sepotong emas, tembaga, dan batu. Lalu dibiarkan inderanya mencerap hal-hal tersebut; maka, ia tidak akan mampu memahaminya sekalipun diulang berkali-kali dengan menggunakan berbagai jenis panca inderanya. Namun jika diberikan kepadanya pengetahuan tentang tiga benda tersebut kemudian ia menginderanya, maka ia akan menggunakan pengetahuan itu sehingga mampu memahami hakekat tiga benda tadi. Anak kecil ini walaupun telah dewasa hingga berumur 20 tahun sedangkan ia belum mendapatkan satu pengetahuan pun maka ia tetap seperti keadaan semula yang hanya mampu mengindera sesuatu tetapi tidak mampu memahaminya sekalipun otaknya berkembang. Sebab, yang menjadikan ia memahami suatu fakta yang diinderanya bukanlah otak melainkan pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh sebelumnya yang diterima oleh otaknya. Hal ini dilihat dari segi proses pengetahuan akal. Adapun dari segi identifikasi yang berupa perasaan, maka hal ini timbul dari naluri dan kebutuhan jasmani manusia. Apa yang terjadi pada hewan, terjadi pula pada manusia. Jika disodorkan secara berulang-ulang buah apel dan batu, ia akan mengerti bahwa apel dapat dimakan, sedangkan batu tidak. Begitu pula halnya dengan keledai ia akan mampu mengidentifikasi bahwa gandum dapat dimakan sedangkan tanah tidak dapat. Akan tetapi proses identifikasi tidak tergolong pemikiran/pemahaman, tetapi berasal dari naluri-naluri dan kebutuhan jasmani, yang ada pada hewan dan ada pula pada manusia. Oleh karena itu, tidak mungkin pemikiran itu ada kecuali terdapat beberapa pengetahuan yang diperoleh sebelumnya di samping pencerapan terhadap fakta melalui panca indera ke otak.

Berdasarkan hal ini, maka akal, fikr (pemikiran), dan idrak (penalaran), terjadi dengan pencerapan terhadap fakta melalui panca indera ke otak, disertai dengan pengetahuan (informasi) yang diperoleh sebelumnya, yang dapat menjelaskan (hakekat) kenyataan tersebut. Oleh karena itu qiyadah fikriyah komunis jelas-jelas keliru dan rusak; sebab, tidak dibangun berdasarkan akal. Sama rusaknya dengan pengertian mereka tentang pemikiran dan akal.

Demikian pula halnya dengan qiyadah fikriyah kapitalisme yang dibangun berdasarkan jalan tengah antara tokoh-tokoh gereja dengan cendekiawan, setelah sebelumnya terjadi pergolakan dan perbedaan pendapat yang sengit dan berlangsung terus-menerus selama beberapa abad di antara mereka. Jalan tengah itu adalah memisahkan agama dari kehidupan, yakni mengakui keberadaan agama secara tidak langsung, tetapi dipisahkan dari kehidupan. Oleh karena itu, qiyadah fikriyah ini tidak dibangun atas dasar akal, tetapi dibangun atas dasar persetujuan kedua belah pihak sebagai jalan tengah.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemikiran/keputusan yang diambil berdasarkan jalan tengah merupakan hal yang asasi bagi mereka. Mereka mencampuradukkan antara haq dan bathil, antara keimanan dengan kekufuran, cahaya dengan kegelapan; dengan menempuh jalan tengah. Padahal sesungguhnya jalan tengah itu tidak ada faktanya; sebab masalahnya adalah tinggal memilih tindakan yang jelas. Apakah yang haq atau yang bathil, iman ataukah kufur, cahaya ataukah kegelapan. Pemecahan yang berasal dari jalan kompromi yang di atasnya dibangun aqidah dan qiyadah fikriyah mereka, telah menjauhkannya dari kebenaran, keimanan, dan cahaya. Oleh karena itu, qiyadah fikriyah kapitalisme rusak, karena tidak dibangun atas dasar akal.

Adapun qiyadah fikriyah Islam dibangun atas dasar akal yang mewajibkan kepada setiap muslim untuk mengimani adanya Allah, kenabian Muhammad SAW, ke-mukjizatan Al-Quranul Karim dengan menggunakan akalnya. Juga mewajibkan beriman kepada yang ghaib dengan syarat harus berasal dari sesuatu yang dapat dibuktikan keberadaannya dengan akal seperti Al-Quran dan Hadits Mutawatir. Dengan demikian, qiyadah fikriyah ini dibangun atas dasar akal. Hal ini dilihat dari segi akal.

Adapun dari segi fitrah manusia, maka qiyadah fikriyah Islam sesuai dengan fitrah; sebab ia mempercayai adanya agama dan adanya kewajiban merealisasikan agama dalam kehidupan ini serta menjalankan kehidupan sesuai dengan perintah dan larangan Allah. Beragama sesuai dengan fitrah, karena ia merupakan salah satu naluri yang memiliki reaksi tertentu, yaitu taqdis. Taqdis berlawanan dengan reaksi naluri-naluri lainnya. Reaksi itu merupakan hal yang wajar bagi naluri (beragama). Sebab itu, beriman kepada agama dan wajib menyesuaikan amal perbuatan manusia di dalam kehidupan sesuai dengan perintah dan larangan Allah, merupakan sesuatu yang naluriah, karena ia sesuai dengan fitrah manusia, maka mudah diterima oleh manusia.

Berbeda halnya dengan qiyadah fikriyah komunisme dan kapitalisme. Kedua ideologi ini bertentangan dengan fitrah manusia. Karena qiyadah fikriyah komunisme mengingkari adanya agama secara mutlak bahkan menentang pengakuan akan adanya agama, maka ia bertentangan dengan fitrah manusia. Sedangkan qiyadah fikriyah kapitalisme, tidak mengakui keberadaan dan peranan agama namun tidak pula mengingkarinya. Malahan tidak menjadikan pengakuan atau pengingkaran terhadap agama sebagai sesuatu yang penting; hanya saja qiyadah fikriyah tersebut mengharuskan pemisahan agama dari kehidupan. Karenanya qiyadah kapitalisme menghendaki perjalanan hidup (manusia) berlandaskan manfaat belaka yang hal itu tidak ada hubungannya dengan agama. Dari sini jelaslah bahwa qiyadah fikriyah kapitalisme bertentangan dengan fitrah manusia.

Berdasarkan hal ini hanya qiyadah fikriyah Islamlah yang cocok bagi manusia karena kesesuaiannya dengan fitrah dan akal manusia. Selain dari qiyadah fikriyah Islam, adalah bathil (salah). Hanya qiyadah fikriyah Islamlah yang benar dan hanya satu-satunya yang akan berhasil (dalam mengatur kehidupan manusia).

Tinggal satu masalah lagi, yaitu apakah kaum muslimin pernah menerapkan sistem Islam? Ataukah mereka hanya memeluk aqidah Islam sementara mereka menerapkan peraturan dan hukum-hukum lain? Jawabnya adalah bahwa umat Islam, sepanjang sejarah, tidak menerapkan selain Islam sejak Rasulullah SAW berada di Madinah sampai tahun 1336 H (1918 M), yaitu tatkala jatuhnya Daulah Islamiyah yang terakhir ke tangan penjajah. Saat itu penerapan sistem Islam mencakup seluruh aspek kehidupan, bahkan negara berhasil menerapkannya dengan sangat gemilang.

Akan halnya yang menunjukkan bahwa kaum muslimin telah menerapkan sistem Islam secara nyata karena sesungguhnya yang menerapkan peraturan adalah negara. Sedangkan yang menerapkannya didalam negara adalah dua badan. Pertama, Al-Qadli, yaitu hakim yang mengadili berbagai macam perselisihan ditengah-tengah masyarakat. Kedua, Al-Hakim, yaitu penguasa yang memimpin rakyat.

Mengenai Qadli, telah sampai kepada kita melalui riwayat yang mutawatir (pasti kebenarannya) bahwa para Qadli inilah yang menyelesaikan berbagai macam perselisihan ditengah-tengah masyarakat sejak masa Rasulullah SAW hingga berakhirnya kekhilafahan di Istambul. Mereka menyelesaikannya berdasarkan hukum-hukum syara’ yang agung dalam seluruh aspek kehidupan, baik di antara kaum muslimin sendiri maupun rakyat yang berbeda agamanya. Sedangkan pengadilan yang menyelesaikan seluruh persengketaan, baik yang berkenaan dengan hak-hak umum, perkara pidana, perkara perdata, dan lain sebagainya, adalah bentuk pengadilan tunggal yang hanya menerapkan syari’at Islam. Tidak ada seorang sejarawan pun memberitakan bahwa satu perkara pernah dipecahkan dengan selain hukum Islam; atau, satu mahkamah di suatu negeri Islam pernah memberlakukan hukum selain hukum Islam.

Keadaan ini terjadi tentu saja sebelum pengadilan dipisahkan menjadi pengadilan agama dan pengadilan sipil sebagai akibat pengaruh penjajahan. Bukti terdekat mengenai hal ini dapat dilihat melalui berbagai dokumen mahkamah syari’at yang tersimpan di beberapa kota tua seperti Al-Quds (Yerusalem), Baghdad, Damaskus, Mesir, Istambul, dan lain sebagainya. Hal ini merupakan bukti yang meyakinkan bahwasa hanya syari’at Islam sajalah yang diterapkan oleh para Qadli. Sampai-sampai orang-orang non muslim dari kalangan Nashrani dan Yahudi mempelajari fiqih Islam dan mengarang dalam bidang ini, sepeti Salim Al Baz yang mensyarah majalah Al Ahkam al Adliyah (yang menjelaskan undang-undang di masa pemerintahan Utsmaniyah, pent.) dan lain-lainnya, yang mengarang beberapa buku dalam fiqih Islam di masa-masa terakhir ini.

Adapun masuknya undang-undang Barat ke negeri Islam, disebabkan adanya fatwa ulama yang berpendapat bahwa hal tersebut tidak bertentangan dengan hukum-hukum Islam. Di antara hukum-kukum tersebut antara lain Qanun al Jazaa al Utsmani (UU pidana pemerintahan Utsmaniah) tahun 1275 H (1857 M), Qanun al Huquuq wat Tijaarah (UU keuangan dan perdagangan) tahun 1276 H (1858 M). Kemudian pada tahun 1288 H (1870 M) mahkamah pengadilan terbagi menjadi dua, yaitu mahkamah Syari’ah (pengadilan agama) dan mahkamah Nizhamiah (pengadilan sipil) yang kemudian dibuat undang-undangnya. Pada tahun 1295 H (1877 M) dibuat peraturan tentang pembentukan mahkamah Sipil (badan dan strukturnya). Terakhir pada tahun 1296 H dibuat undang-undang mengenai tata cara pengadilan yang menyangkut hak-hak (keuangan) dan hukum pidana.

Pada saat itu para ulama tidak mendapatkan suatu dasar hukum syara’ untuk memasukkan undang-undang sipil Barat ke negara Islam; sehingga diterbitkan majalah Al Ahkam al Adliyah sebagai undang undang mu’amalah (tata cara dagang, pemilikan tanah, pidana, dan lain-lain), sementara undang-undang sipil Barat dapat dihindari. Ini terjadi pada tahun 1286 H. Undang-undang itu dibuat sedemikian rupa seolah-olah hukum-hukum itu diperbolehkan dalam Islam. Namun hal itu tetap tidak berlaku kecuali setelah negara mendapatkan fatwa yang memperbolehkannya dan setelah diizinkan oleh Syaikhul Islam untuk melaksanakannya, sebagaimana yang tegambar dalam surat-surat resmi yang telah dikeluarkan.

Meskipun penjajah sejak tahun 1918 M, atau sejak pendudukan terhadap negeri (Islam) mulai mengambil alih masalah penyelesaian persengketaan yang menyangkut hak-hak dan hukum pidana berlandaskan selain hukum-hukum Syari’at Islam, akan tetapi bagi negeri-negeri yang tidak dijajah dengan cara militer walaupun tetap mereka kontrol, ternyata negeri-negeri tersebut masih tetap melaksanakan hukum Islam, seperti misalnya negeri-negeri Hijaz, Nejd, Kuwait yang menjadi bagian Jazirah Arab. Begitu pula Afghanistan yang masih menerapkan Islam dalam bidang pengadilan dan sampai kini tetap masih menjalankan hukum syari’at Islam[iii], sekalipun para penguasa di negeri ini (Afghanistan) tidak melaksanakan hukum Islam. Oleh karena itu, kita melihat bahwa Islam telah diterapkan (oleh negara) dalam pengadilan dan tidak diterapkan selain Islam di seluruh masa oleh Daulah Islamiyah.

Mengenai penerapan penguasa terhadap hukum syari’at Islam, maka sesungguhnya penerapan ini mencakup lima bidang, yaitu hukum-huklum syara’ yang berkaitan dengan masalah (1) Sosial (yang mengatur interaksi pria dan wanita), (2) Ekonomi, (3) Pendidikan, (4) Politik luar negeri, dan (5) Pemerintahan.

Hukum-hukum yang menyangkut kelima bagian ini telah diterapkan oleh Daulah Islam sejak dulu. Sistem sosial yang mengatur hubungan antara pria dan wanita, dan apa-apa yang dihasilkan dari hubungan tersebut, yaitu yang dinamakan hukum acara perdata, terbukti masih tetap berlaku hingga kini, sekalipun penjajahan masih merajalela dan hukum-hukum kufur masih terus diterapkan, dan ternyata sampai saat ini tidak pernah diterapkan selain syari’at Islam dalam bidang perdata. Adapun sistem ekonomi, penerapannya mencakup dua segi. Pertama, bagaimana negara mengumpulkan harta dari rakyat untuk mengatasi persoalan masyarakat, dan yang kedua, bagaimana cara mendistribusikannya. Untuk persoalan pertama, antara lain negara mengambil kewajiban zakat atas harta yang dimiliki baik berupa uang, tanah, hasil pertanian, atau ternak, dengan menganggapnya sebagai ibadah. Dan dari persoalan ini, harta tersebut dibagikan hanya kepada delapan ashnaf yang tercantum dalam Al-Quran dan tidak digunakan untuk urusan administrasi negara. Sementara untuk urusan administrasi dan urusan umat, negara mengumpulkan harta hanya beradasarkan syari’at Islam saja. Negara tidak pernah menerapkan sistem perpajakan melainkan hanya menerapkan sistem ekonomi Islam, antara lain mengambil pungutan kharaj atas tanah, jizyah dari rakyat non muslim, bea cukai yang dipungut karena negara bertanggung jawab mengatur perdagangan luar dan dalam negeri. Yang jelas perolehan semua pemasukan harta tidak pernah dilakukan kecuali sesuai dengan hukum syari’at Islam.

Akan halnya dengan distribusi harta/ anggaran belanja, ternyata negara pernah menerapkan hukum-hukum nafkah kepada pihak yang lemah (tidak mampu) dan larangan mengurus harta terhadap orang-orang idiot dan berprilaku mubazir, lalu negara mengangkat orang yang bisa mengaturnya. Di samping itu banyak tempat-tempat (rumah makan) yang didirikan di setiap kota dan rute perjalanan (yang dilalui) jamaah haji untuk memberi makan fakir, miskin, dan ibnu sabil. Bekas-bekas (peninggalan)nya masih bisa dijumpai sampai sekarang di beberapa ibukota negeri Islam. Ringkasnya, distribusi harta dari negara dilakukan berdasarkan syari’at Islam dan bukan yang lain. Apabila kita menyaksikan (dalam sejarah) adanya kelalaian negara dalam mendistribusikan harta, maka hal itu semata-mata ‘kurang perhatian’ dan kekeliruan dalam penerapan, dan bukan berarti hukum-hukum yang menyangkut hal ini tidak diterapkan sama sekali.

Adapun sistem pendidikan, terbukti bahwa strategi pendidikan yang digunakan selalu dibangun berlandaskan Islam. Dalam hal ini, kebudayaan Islam merupakan asas bagi kurikulum pendidikan. Sedangkan kebudayaan asing senantiasa diawasi dan tidak diambil apabila bertentangan dengan Islam. Kalaupun ada kelalaian negara dalam membuka sekolah-sekolah, hal itu hanya terjadi pada masa-masa terakhir Daulah Utsmaniyah, dan tidak terbatas pada negeri-negeri tertentu melainkan seluruh negeri-negeri Islam, akibat kemerosotan berpikir yang mencapai klimaksnya saat itu. Sedangkan pada masa-masa sebelum itu, sungguh sangat terkenal di seluruh dunia, bahwa negeri-negeri Islamlah satu-satunya yang menjadi pusat perhatian para cendekiawan dan kaum terpelajar. Perguruan-perguruan tinggi seperti yang terdapat di Cordova, Baghdad, Damaskus, Iskandariah dan Kairo, memiliki pengaruh yang amat besar dalam menentukan arah pendidikan di dunia.

Begitu pula halnya dengan politik luar negeri, selalu dibangun berlandaskan Islam. Negara Islam telah menentukan hubungannya dengan negara-negara lain hanya berdasarkan Islam. Seluruh negara di dunia saat itu melihatnya sebagai sebuah Negara Islam. Seluruh hubungan luar negeri Negara dibangun atas dasar Islam dan kemashlahatan kaum Muslimin dalam kedudukannya sebagai pemeluk agama Islam. Kenyataan bahwa politik luar negeri Negara Islam selalu berlandaskan politik Islam adalah suatu hal yang sangat terkenal di seluruh dunia tanpa perlu dibuktikan lagi.

Mengenai sistem pemerintahan, jelas sekali bahwa struktur negara di dalam Islam terdiri dari tujuh bagian, yaitu:

(1) Khalifah, sebagai kepala negara,

(2) Mu’awin Tafwidl, sebagai pembantu Khalifah yang berkuasa penuh. Dan Mu’awin Tanfidl, sebagai pembantu Khalifah dalam urusan administrasi

(3) Wali (gubernur),

(4) Qadli (hakim)

(5) Amirul Jihad dan Angkatan Bersenjata,

(6) Aparat Administrasi,

(7) Majlis Ummat

Struktur seperti ini sesungguhnya selalu ada dalam sejarah Islam. Kaum muslimin belum pernah melewati satu masa pun, tanpa hadir di tengah-tengah mereka seorang Khalifah. Kecuali tentu saja setelah para penjajah kafir menghapuskan sistem Khilafah dengan memperalat Kemal Ataturk pada tahun 1342 H yang bertepatan dengan tahun 1924 M. Sebelum itu, kaum muslimin selalu dipimpin oleh seorang Khalifah. Belum pernah terjadi kekosongan seorang Khalifah tanpa disertai adanya Khalifah lain sebagai penggantinya, bahkan pada masa-masa kemundurannya.

Apabila seorang Khalifah diangkat, maka saat itu terbentuk Daulah Islamiyah. Sebab, kekuasaan Daulah Islamiyah berada di tangan Khalifah itu sendiri. Mengenai Mu’awin Tafwidl dan Mu’awin Tanfidz, mereka selalu ada di seluruh masa. Kedudukan mereka sebagai pembantu dan pelaksana, bukan sebagai Wuzaraa (kabinet). Kalaupun ada sebutan Wazir, yang terjadi pada masa Abbasiah, mereka tetap sebagai pembantu. Sama sekali tidak terdapat ciri-ciri kementerian seperti yang ada dalam sistem demokrasi. Kedudukan mereka hanya sebagai pembantu Khalifah dalam urusan pemerintahan dan administrasi negara, sedangkan wewenang kekuasaan secara keseluruhan berada di tangan Khalifah.

Adapun para Wali, Qadli, dan Aparat Administrasi, jelas sekali bahwa eksistensi mereka selalu ada. Bahkan tatkala para penjajah kafir menduduki negeri-negeri Islam, urusan pemerintahan masih berlangsung dan dijalankan oleh para Wali, Qadli dan aparat administrasi, sehingga keberadaan mereka tak perlu memerlukan bukti lagi.

Akan halnya angkatan bersenjata, yang urusan administrasinya diatur oleh Amirul Jihad, kedudukannya sebagai pasukan Islam. Pada saat itu berkembang opini umum di seluruh dunia bahwa pasukan Islam adalah pasukan yang tidak mungkin terkalahkan.

Tentang Majlis Ummat, yang fungsinya sebagai majlis syura, sepeninggal masa Khulafaur Rasyidin tidak lagi diperhatikan. Hal ini karena Syura, sekalipun termasuk salah satu struktur negara, tetapi bukan termasuk bagian dari pilar bangunan negara Islam. Syura hanya merupakan salah satu hak rakyat terhadap para penguasa. Apabila penguasa tidak meminta pendapat dari rakyat (dalam berbagai urusan), berarti penguasa itu telah melakukan suatu kelalaian. Sekalipun demikian pemerintah itu tetap merupakan pemerintah Islam. Sebab, musyawarah yang dilakukan hanya merupakan forum pengambilan pendapat, bukan untuk menetpkan kebijaksanaan negara. Tentu hal ini berbeda dengan peranan parlemen pada sistem demokrasi. Dari sini jelaslah bahwa sistem pemerintahan Islam pernah diterapkan di sepanjang sejarahnya.

Satu hal yang perlu dicatat mengenai pembai’atan Khalifah bahwa yang pasti dalam sejarah khilafah tidak pernah ada sistem ”putera mahkota”. Dengan kata lain pewarisan tahta tidak pernah dilakukan sebagai hukum yang ditetapkan di dalam negara –yakni untuk mengangkat kepala negara– secara otomatis, seperti yang berlaku pada sistem Kerajaan. Yang ditetapkan menjadi hukum untuk melegalisasi kekuasaan di dalam Daulah Islamiyah adalah bai’at. Tentang pelaksanaan bai’at ini pada masa-masa tertentu diambil dari umat secara langsung (pada masa Khulafaur Rasyidin), sedangkan pada masa yang lain melalui ahlul halli wal ‘aqdi (di masa pemerintahan Abbasiah), bahkan pernah juga diambil dari satu orang saja yaitu Syaikhul Islam pada masa kemunduran umat (akhir masa Khilafah Utsmaniyah). Meskipun begitu di sepanjang masa Daulah Islamiyah, seorang Khalifah selalu diangkat melalui bai’at. Khalifah tidak pernah diangkat dengan cara pewarisan tahta (sistem putera mahkota) tanpa adanya bai’at sama sekali. Tidak ada satupun riwayat atau peristiwa yang menunjukkan bahwa Khalifah pernah diangkat dengan cara pewarisan kekuasaan tanpa melalui bai’at.

Meskipun demikian memang pernah didapati cara keliru dalam pengambilan bai’at. Ada sebagian Khalifah yang mengambil bai’at dari rakyat pada saat ia masih hidup untuk anaknya, atau saudaranya, keponakannya, atau salah seorang anggota keluarganya. Setelah itu bai’at ini baru diulangi lagi untuk orang yang ditunjuk setelah Khalifah meninggal. Pelaksanaan seperti ini menunjukkan adanya penyalahgunaan dalam penerapan bai’at; dan bukan menunjukkan pengakuan adanya sistem pewarisan tahta atau putera mahkota. Sama halnya dengan penyalahgunaan yang terjadi pada tata cara ”pemilu” untuk memilih anggota Majlis Perwakilan Rakyat dalam sistem demokrasi, yang prosesnya tetap disebut sebagai pemilihan dan bukan sebagai penunjukan, sekalipun yang menang dalam pemilu adalah orang-orang yang dikehendaki oleh pemerintah. Dari seluruh penjelasan di atas dapatlah kita lihat bahwa sistem Islam benar-benar telah diterapkan secara nyata dan tidak pernah sekali pun pada seluruh masa Daulah Islamiyah diterapkan sistem selain sistem Islam.

Adapun keberhasilan gemilang qiyadah fikriyah Islam secara nyata dapat dilihat sebagai keberhasilan yang tiada bandingannya, terutama dalam dua hal berikut ini:

Pertama, kenyataan bahwa qiyadah fikriyah Islam berhasil mengubah bangsa Arab secara keseluruhan dari taraf pemikiran yang sangat rendah, dan dari kegelapan yang selalu diliputi oleh fanatisme kesukuan dan alam kebodohan yang sangat, menjadi suatu era kebangkitan berpikir yang cemerlang, gemerlap dengan cahaya Islam, yang bahkan tidak hanya untuk bangsa Arab saja tetapi untuk seluruh dunia.

Umat Islam telah memainkan peranan penting dalam membawa Islam ke seluruh pelosok dunia, sehingga mampu menguasai Persia, Iraq, Syam, Mesir, dan Afrika Utara. Pada waktu itu masing-masing bangsa memiliki ras, etnik, dan suku-suku yang saling berlainan dengan bangsa-bangsa lainnya. Juga dalam hal bahasa. Suku bangsa Persia, misalnya, berbeda dengan suku bangsa Romawi di Syam, berbeda pula dengan suku Qibthi di Mesir, berlainan pula dengan suku Barbar (Orang-orang Moor) yang ada di Afrika Utara. Demikian pula halnya dengan adat-istiadat, kebiasaan-kebiasaan, dan agamanya, masing-masing saling berlainan. Namun tatkala mereka hidup di bawah naungan pemerintahan Islam, kemudian memahami Islam, pada akhirnya mereka berduyun-duyun masuk Islam secara keseluruhan. Jadilah mereka sebagai umat yang satu, yaitu umat Islam. Oleh karena itu, keberhasilan qiyadah fikriyah Islam dalam mempersatukan bangsa-bangsa dan suku-suku yang ada, merupakan keberhasilan cemerlang dan tiada duanya. Padahal waktu itu sarana transportasi dalam aktivitas penyebarlusan dakwah hanya menggunakan unta, sedangkan media penyebarannya melalui lisan dan pena.

Akan halnya Futuhat, yaitu penaklukan terhadap negeri-negeri lain, sesungguhnya hal itu dilakukan tidak lain untuk menghapus kekuatan dengan kekuatan, mendobrak penghalang yang bersifat fisik sehingga manusia terbebas dari berbagai tekanan agar mudah dibimbing oleh akalnya, dan ditunjuki fitrahnya. Sehingga pada gilirannya, banyak di antara mereka akhirnya memeluk agama Allah secara berbondong-bondong.

Berbeda dengan model penaklukan yang keji, yang selalu menjauhkan negara/bangsa penakluk dengan negara/bangsa yang ditaklukan, menjauhkan pihak yang menang dengan pihak yang kalah. Bukti konkrit dalam hal ini adalah penjajahan Barat terhadap negeri-negeri Timur selama puluhan tahun, walaupun pada akhirnya tidak mendapatkan apa-apa. Kalau tidak karena pengaruh kebudayaan mereka yang menyesatkan itu yang (insya-Allah) akan dimusnahkan, plus tekanan dari para penguasa bayaran –yang juga pasti akan dilenyapkan– tentulah kembalinya negeri-negeri tersebut ke pangkuan Islam, baik dilihat dari segi prinsip maupun peraturan-peraturannya, adalah perkara yang mudah dicapai secepat kedipan mata.

Kembali kepada masalah yang tadi dikatakan bahwa keberhasilan qiyadah fikriyah Islam dalam hal mempersatukan bangsa-bangsa di dunia adalah keberhasilan yang tiada bandingannya. Terbukti bangsa-bangsa tersebut hingga kini masih tetap mempertahankan ke-Islamannya sekalipun terdapat ancaman, kejahatan, serta tipu daya kolonialisme dalam menghancurkan aqidah umat dan meracuni pikiran mereka. Bangsa-bangsa tersebut tetap akan mempertahankan kedudukannya sebagai suatu umat Islam sampai hari Kiamat nanti. Tidak pernah sekali pun terjadi, suatu bangsa yang telah memeluk Islam kemudian keluar (murtad) dari Islam.

Mengenai keadaan kaum muslimin di Andalusia, sesungguhnya mereka telah dimusnahkan melalui mahkamah-mahkamah inquisisi dengan cara dibakar, dieksekusi dengan hukuman penggal leher. Begitu pula kaum muslimin di daerah Bukhara, Kaukasus dan Turkistan telah ditimpa cobaan besar seperti halnya yang dialami oleh umat-umat terdahulu. Masuknya bangsa-bangsa tersebut ke dalam Islam, kelestariannya sebagai umat yang satu, dan kerasnya mereka dalam mempertahankan aqidah, menggambarkan sejauh mana keberhasilan qiyadah fikriyah ini, dan betapa berhasilnya Daulah Islamiyah dalam menerapkan sistem Islam.

Kedua, hal lain yang menunjukkan keberhasilan qiyadah fikriyah Islam adalah bahwa umat Islam telah menjadi umat yang terkemuka di dunia dalam bidang hadlarah (peradaban), madaniyah (kemajuan infrastruktur dan teknologi), kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Daulah Islamiyah telah menjadi negara terbesar dan terkuat di dunia selama 12 abad, yaitu dari abad ke-6 sampai pertengahan abad ke-18 M. Daulah Islamiyah merupakan satu-satunya kebanggaan dunia, seperti matahari yang memancarkan sinarnya sebagai penerang bagi umat lain di sepanjang kurun tersebut. Fakta ini adalah bukti lain yang memperkuat sejauh mana keberhasilan qiyadah fikriyah Islam dan betapa berhasilnya Islam menerapkan undang-undang dan aqidahnya atas umat manusia. Namun tatkala Daulah dan umat Islam ini melepaskan tugas mengemban qiyadah fikriyah Islam, ketika mereka tidak lagi mementingkan dakwah Islam, dan melalaikan tugas memahami dan menerapkan Islam, pada saat itulah Daulah dan umat ini kendur semangatnya, sehingga tidak lagi memiliki kedudukan terkemuka di antara umat-umat lain.

Oleh karena itu perlu ditegaskan lagi bahwa qiyadah fikriyah Islamlah satu-satunya qiyadah yang benar dan satu-satunya yang wajib diemban ke seluruh dunia. Dan apabila Daulah Islamiyah yang mengemban qiyadah fikriyah ini muncul dan memainkan perananannya kembali, tentu keberhasilan qiyadah fikriyah saat ini akan seperti keberhasilannya pada masa yang lalu.

Sudah dikatakan di atas bahwa Islam sesuai dengan fitrah manusia dalam berbagai sistem dan peraturan yang terpancar darinya. Dalam hal ini, manusia tidak dianggap sebagai mesin robot yang bergerak sesuai dengan program, dan menerapkan peraturan tanpa ada perbedaan satu sama lain dalam hal tingkah laku sesuai dengan ukuran dan data-data yang telah diprogram. Islam menganggap manusia sebagai makhluk sosial yang menerapkan peraturan dan mempunyai tingkat karakter dan kemampuan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, wajarlah kalau Islam dari satu sisi berusaha untuk saling mendekatkan martabat manusia dan tidak menyamaratakan, dengan menjamin ketenteraman bagi semua pihak (rakyat). Pada sisi lain, dan ini merupakan pokok pembahasan sekarang, bahwa dengan anggapan seperti ini ada saja individu-individu yang melanggar penerapan aturan sehingga menyimpang dari Islam. Lumrah apabila ada saja individu-individu yang tidak mentaati peraturan atau melalaikannya. Wajar apabila dalam masyarakat Islam juga ada orang-orang fasik (berbuat maksiat), fajir (berbuat keji), ada pula orang-orang kafir dan munafik, serta orang-orang murtad bahkan atheis. Akan tetapi patokan sebuah masyarakat adalah masyarakat secara keseluruhan dilihat dari aspek individu yang memiliki pemikiran, perasaan dan peraturan. Masyarakat itu dapat dianggap sebagai masyarakat Islam yang menerapkan Islam, apabila tiga hal di atas tadi diwarnai oleh Islam.

Sebagai bukti kebenaran hal ini, adalah tidak mungkin seorang pun menerapkan suatu peraturan seperti apa yang telah dilakukan Rasulullah SAW dalam menerapkan peraturan Islam. Sekalipun demikian, pada masa Rasulullah SAW pun terdapat orang-orang kafir, munafik, fasik, fajir, murtad dan bahkan atheis. Namun demikian, tak seorang pun bisa berpendapat lain kecuali mengatakan secara pasti: ‘‘Sesungguhnya Islam pada waktu itu telah diterapkan dengan sempurna dan masyarakat yang ada adalah masyarakat Islam”. Namun penerapan ini dilakukan terhadap manusia dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial, bukan sebagai robot.

Dengan demikian hanya Islamlah satu-satunya yang telah diterapkan terhadap umatnya secara keseluruhan –baik bangsa Arab maupun non Arab– sejak Nabi SAW menetap di Madinah sampai masa penjajahan yang telah menduduki negeri-negeri Islam, kemudian sistem Islam diganti dengan sistem kapitalis.

Berdasarkan hal ini terbukti bahwa Islam telah diterapkan secara nyata sejak tahun pertama Hijriyah hingga tahun 1336 H (1918 M). Sepanjang masa itu, umat Islam tidak pernah menerapkan peraturan apa pun selain Islam. Bahkan tatkala kaum muslimin telah menerjemahkan berbagai jenis filsafat, ilmu pengetahuan dan kebudayaan asing yang beraneka ragam ke dalam bahasa Arab, namun mereka sama sekali tidak menerjemahkan hukum, undang-undang maupun peraturan dari suatu bangsa mana pun –baik untuk dipraktekkan atau pun untuk dipelajari. Hanya saja, Islam dalam kedudukannya sebagai suatu peraturan, kadang-kadang diterapkan oleh kaum muslimin dengan sempurna, kadang-kadang disalahgunakan, tergantung pada kuat dan lemahnya negara Islam, dalam dan dangkalnya pemahaman tentang Islam, juga gesit dan lambannya dalam mengembangkan qiyadah fikriyah Islam. Oleh sebab itu, buruknya penerapan Islam di sebagian masa telah menjadikan masyarakat Islam mengalami kemunduran demi kemunduran. Hal ini merupakan hal yang wajar terjadi pada setiap sistem mana pun. Sebab, penerapan itu tergantung pada manusianya.

Hanya saja perlu dicatat bahwa buruknya penerapan Islam bukan berarti bahwa sistem Islam tidak pernah diterapkan, bahkan merupakan hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa sistem Islam pernah diterapkan selama berabad-abad. Belum pernah di sepanjang sejarahnya diterapkan baik ideologi maupun sistem peraturan, selain Islam. Sebab, yang menjadi patokan dalam penerapan dimaksud adalah undang-undang dan peraturan-peraturan yang dilaksanakan oleh negara. Sedangkan Daulah Islamiyah dalam kenyataannya tidak pernah mengambil suatu peraturan dan undang-undang apapun selain Islam. Kalaupun ada sesuatu yang terjadi tidak lebih merupakan buruknya penerapan sebagian peraturan Islam oleh sebagian para penguasa. Satu hal yang selayaknya mendapat kejelasan ialah bahwa ketika kita hendak memproyeksikan penerapan Islam dalam sejarah, kita harus memperhatikan dua hal berikut ini:

Pertama, hendaknya kita tidak mengambil sejarah dari musuh-musuh Islam, terutama mereka yang sangat membenci Islam, tetapi kita hanya mengambilnya dari kalangan Islam sendiri setelah diseleksi secara kritis dan teliti, sehingga kita tidak sampai mendapatkan gambaran yang buruk. Kedua, kita tidak boleh menggunakan analogi umum (menggeneralisasi) tentang sebuah masyarakat dari sudut sejarah perorangan, atau menitikberatkan sejarah hanya pada satu sisi/bagian dari sebuah masyarakat. Adalah keliru apabila kita menggambarkan masa pemerintahan Bani Umayyah dengan hanya memfokuskan sejarah Khalifah Yazid, misalnya. Atau, menggambarkan masa pemerintahan Bani Abbas dengan hanya mengambil sebagian peristiwa dan tingkah laku para Khalifah-nya. Demikian pula kita tidak boleh mencap masyarakat pada masa pemerintahan Bani Abbas dengan hanya membaca kitab Al Aghani yang dikarang untuk menceritakan tingkah laku para biduan, para pemabuk, penyair dan sastrawan; atau dengan membaca buku-buku tashawwuf dan buku-buku yang sejenisnya. Sehingga kita menyimpulkan bahwa masa itu adalah masa kefasikan dan kenistaan, atau masa zuhud dan uzlah. Hendaknya kita meneliti keadaan masyarakat secara menyeluruh.

Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa sejarah masyarakat Islam tidak pernah ditulis dalam periode manapun. Yang ada hanyalah cerita-cerita tentang para penguasa (khalifah) dan sebagian para pejabatnya. Itu pun bukan ditulis oleh orang-orang layak dipercaya. Pada umumnya mereka itu, kalau tidak para pencela, pasti para pemuja sehingga tidak satupun yang dapat diterima riwayatnya.

Dengan demikian tatkala kita mempelajari masyarakat Islam dengan bertolak dari pandangan seperti ini, yaitu dengan mempelajarinya secara kritis dan teliti dari seluruh aspek, tentu akan kita dapati bahwa masyarakat Islam adalah masyarakat yang terbaik dibandingkan dengan masyarakat yang pernah ada di dunia; karena memang demikianlah keadaannya pada abad pertama, kedua, ketiga, lalu berlanjut pada abad-abad berikutnya hingga pertengahan abad ke-12 Hijriyah. Akan kita jumpai bahwa masyarakat telah menerapkan Islam di sepanjang sejarahnya sampai berakhirnya masa Daulah Utsmaniyah yang merupakan Daulah Islamiyah.

Yang patut diperhatikan juga ialah bahwa sejarah itu tidak boleh dijadikan sebagai sumber rujukan bagi peraturan dan fiqih. Peraturan hanya diambil dari sumber-sumber fiqih, bukan dari sejarah, sebab sejarah bukanlah sumber fiqih. Sebagai contoh apabila kita hendak memahami sistem komunis, maka kita tidak dapat mengambilnya dari sejarah Rusia akan tetapi mengambilnya dari buku-buku ideologi komunis. Begitu pula jika kita hendak mengetahui perundang-undangan Inggris, maka kita tidak bisa mengambilnya dari sejarah Inggris, akan tetapi mengambilnya dari kodifikasi hukum Inggris itu sendiri. Kaedah ini berlaku untuk setiap sistem dan undang-undang.

Begitu pula halnya dengan Islam sebagai ideologi yang memiliki aqidah dan peraturan. Apabila kita ingin mengetahui dan mengambilnya, maka sama sekali tidak dibenarkan menjadikan sejarah sebagai sumber rujukan, tidak dari segi pengetahuan tentang peraturannya dan tidak pula dari segi cara pengambilan hukum-hukumnya (istinbath).

Adapun dari segi sumber pengetahuan tentang peraturan, hal ini dapat diambil dari buku-buku fiqih Islam. Sedangkan sumber pengambilan hukum, dapat diketahui dari dalil-dalilnya yang terperinci (Al-Quran, Hadits dan lain-lain). Itulah sebabnya kita tidak dibenarkan menjadikan sejarah sebagai rujukan bagi peraturan Islam, baik dilihat dari segi pengetahuan tentang peraturan maupun dari segi pengambilan dalil-dalilnya. Berdasarkan keterangan inilah, kita tidak dibenarkan menjadikan sejarah Umar bin Khaththab, Umar bin Abdul Azis, Harun al-Rasyid, dan lain-lain sebagai sumber hukum, baik dilihat dari berbagai peristiwa sejarah yang menuturkan mereka maupun buku-buku yang dikarang tentang biografi mereka. Apabila pendapat Umar dalam suatu kejadian diikuti, tidak lain karena itu merupakan hukum syara yang di-istinbath-kan dan diterapkan oleh Umar, sama halnya mengikuti hukum yang telah di-istinbath-kan oleh Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Ja’far dan sebagainya; bukan diikuti karena pertimbangan peristiwa sejarah. Jadi sejarah tidak mendapatkan porsi dalam pengambilan peraturan, ataupun untuk mengetahuinya.

Untuk mengetahui apakah peraturan itu pernah diterapkan atau tidak, hal ini juga tidak dapat diambil dari sejarah melainkan dari fiqih. Sebab, setiap periode memiliki problematikanya sendiri yang dipecahkan dengan suatu peraturan. Untuk mengetahui peraturan apa yang digunakan untuk memecahkan problematika tersebut, kita juga tidak dapat merujuk kepada peristiwa sejarah; karena sejarah hanya memberitahukan kita tentang berita/informasi yang menyangkut kejadian di masa lampau. Tetapi kita harus kembali pada peraturan yang pernah diterapkan yang tidak lain adalah fiqih Islam.

Dan setelah kita kembali kepada fiqih Islam, kita tidak akan menjumpai di dalamnya satu peraturan pun yang diambil oleh kaum muslimin berasal dari bangsa-bangsa lain dan tidak ada satupun peraturan yang ditetapkan oleh kaum muslimin berdasarkan pendapatnya semata. Yang kita jumpai adalah bahwasanya peraturan tersebut seluruhnya hanya terdiri dari hukum-hukum syara’ yang di-istinbath dari dalil-dalil syara’. Dan bahwasanya kaum muslimin selalu bersikap tegas dalam memurnikan fiqih dari pendapat/hasil istinbath yang lemah. Sampai-sampai mereka melarang mengikuti pendapat yang lemah, sekalipun berasal dari seorang mujtahid mutlak.

Oleh karena itu, tidak ada satu nash tasyri’ pun yang mengandung hukum selain dari fiqih Islam di seluruh dunia Islam. Dan yang ada hanya fiqih Islam saja. Fakta ini, yaitu hanya ada satu-satunya teks fiqih bagi satu umat tanpa adanya teks yang lain, adalah bukti yang menunjukkan bahwa umat tidak pernah menggunakan teks apapun dalam pembuatan hukum tasyri’ selain dari nash-nash fiqih Islam.

Perihal sejarah, kalaupun kita ingin menoleh kepadanya, tidak lain hanya sekedar untuk mengetahui bagaimana cara penerapan peraturan. Bisa saja sejarah mencatat berbagai peristiwa politik, sehingga dapat diketahui tata cara penerapan peraturan. Meskipun hal ini boleh diambil tetapi hanya dari karangan sejarawan kaum muslimin dan setelah diteliti dengan cermat.

Sejarah itu sendiri mempunyai tiga sumber; pertama catatan-catatan sejarah, kedua peninggalan-peninggalan sejarah, dan ketiga riwayat. Catatan-catatan sejarah tidak boleh dijadikan sumber secara mutlak. Sebab catatan-catatan itu selalu dipengaruhi oleh situasi politik di setiap zaman dan senantiasa tercampur dengan kepalsuan, baik ia mendukung orang-orang tertentu di masa penulisannya, ataupun yang menentang orang-orang tersebut yang ditulis pada masa sesudahnya. Bukti paling dekat yang menunjukkan hal ini ialah sejarah tentang keluarga Muhammad Ali Pasya (seorang Wali di Mesir pada masa Utsmaniyah). Sebelum tahun 1952 M keluarga itu memiliki gambaran yang positif. Akan tetapi setelah tahun 1952 M, ternyata sejarah ini berubah sama sekali, menjadi gambaran hitam yang bertolak belakang dengan masa sebelumnya. Begitu pula halnya dengan sejarah kejadian politik di zaman kita ini ataupun periode sebelumnya. Oleh karena itu, kita tidak boleh menjadikan catatan-catatan sejarah sebagai sumber bagi sejarah, sekalipun hal itu merupakan catatan harian yang ditulis oleh orang yang bersangkutan.

Akan halnya peninggalan-peninggalan sejarah, sesungguhnya apabila dipelajari dengan obyektif akan dapat menunjukkan suatu fakta sejarah. Sekalipun peninggalan-peninggalan sejarah itu tidak mampu membentuk rantai sejarah, akan tetapi dapat menunjukkan kepastian sebagian peristiwa. Dan apabila kita meneliti peninggalan-peninggalan di setiap negeri kaum muslimin, baik berupa bangunan, peralatan-peralatan, atau apa saja yang dapat dianggap sebagai peninggalan sejarah, akan menunjukkan bukti yang pasti bahwa tidak pernah ada di seluruh dunia Islam, kecuali hanya Islam, serta peraturan dan hukum-hukum Islam semata. Dan begitu pula seluruh aspek kehidupan dan perikehidupan kaum muslimin serta segala tingkah lakunya, semuanya serba Islam, bukan yang lain.

Mengenai sumber yang ketiga, yaitu riwayat, adalah termasuk sumber-sumber yang layak dipercaya dan dapat dijadikan sebagai pegangan, apabila riwayatnya benar. Persis dengan cara yang ditempuh dalam periwayatan sebuah hadits. Dengan cara inilah hendaknya sejarah ditulis. Maka kita menjumpai kaum muslimin, ketika mereka mulai mengarang buku sejarah, menggunakan metode riwayat. Seperti yang kita lihat dalam beberapa buku-buku tarikh lama, misalnya tarikh Thabari, sirah Ibnu Hisyam, dan sebagainya, yang dikarang dengan metode ini. Atas dasar inilah, maka kaum muslimin tidak boleh mengajarkan sejarah Islam kepada putra-putranya melalui catatan-catatan sejarah yang dikarang dengan merujuk kepada catatan lainnya. Sama halnya tidak boleh merujuk pada buku/catatan sejarah tersebut untuk memahami penerapan peraturan Islam. Dari sini jelaslah bahwa hanya Islamlah satu-satunya yang diterapkan atas seluruh umat Islam di setiap masa.

Sayangnya sejak berakhirnya perang dunia pertama dengan kemenangan di pihak Sekutu, Lord Allenby, panglima perang Sekutu mengumumkan pernyataannya tatkala menaklukkan Baitul Maqdis: “Sekarang berakhirlah perang Salib”. Sejak saat itu para penjajah kafir mulai menetapkan berbagai peraturan kapitalis di tengah-tengah kehidupan kita (kaum Muslimin) di dalam seluruh aspek kehidupan agar menjadikan kemenangannya itu bersifat abadi. Maka suatu keharusan bagi kita untuk mengubah peraturan yang busuk dan merusak saat ini, yang dengan peraturan ini kolonialisme terus berlanjut di negeri-negeri kita (dunia Islam). Kita harus membongkar dari akarnya secara menyeluruh, bahkan sampai yang sekecil-kecilnya sehingga kita dapat mengembalikan Islam sebagai tatanan seluruh aspek kehidupan.

Sungguh suatu kedangkalan berpikir apabila kita ingin mengganti sistem peraturan kita (Islam) dengan peraturan lain. Adalah pemikiran bodoh apabila umat ini hanya menerapkan peraturan saja tanpa memperhatikan aqidah akan dapat menyelamatkannya. Tetapi yang seharusnya adalah bahwa umat ini pertama-pertama harus memeluk aqidah dahulu, baru kemudian menerapkan peraturan yang terpancar dari aqidah ini. Pada saat itulah umat dapat diselamatkan setelah ia menerima aqidah dan menerapkan peraturan (Islam). Inilah jalan yang harus ditempuh oleh umat yang terikat kepada suatu mabda tertentu. Umat yang menjadikan mabda tersebut sebagai landasan bagi negaranya. Adapun umat dan bangsa-bangsa lain bisa saja tidak perlu menganut satu mabda agar dapat diterapkan atas mereka. Sebab, umat yang telah menganut aqidah dan mengembannya dapat saja menerapkannya pada setiap bangsa dan umat manusia manapun; sekalipun tidak menganut mabda tersebut. Karena, hal ini akan membawa kebangkitan juga bagi bangsa tersebut, malah akan menarik perhatian untuk memeluk mabda itu. Sebab, memeluk mabda tidak perlu menjadi syarat bagi umat yang akan dikenai/diterapkan kepadanya mabda tersebut, melainkan menjadi syarat mutlak bagi pihak yang akan menerapkannya.

Adalah sangat berbahaya apabila kita mengambil nasionalisme, dan peraturan sosialis, sebab sosialisme tidak dapat diambil secara terpisah dari ide dasarnya yaitu materialisme, karena tidak akan menghasilkan sesuatu dan tidak pula mempunyai pengaruh (terhadap masyarakat). Juga tidak bisa diambil secara bersamaan dengan ide-dasarnya, yaitu materialisme, karena ide tersebut merupakan pemikiran yang negatif yang berlawanan dengan fitrah manusia, bahkan, memaksa umat Islam untuk meninggalkan aqidahnya.

Kita juga tidak boleh mengambil sosialisme dari satu segi, sementara segi lainnya mempertahankan aspek kerohanian Islam. Sebab dengan cara ini, berarti tidak menjadikan kita mengambil Islam juga tidak sosialisme karena keduanya saling bertentangan, juga karena adanya banyak kekurangan dalam sosialisme. Kita tidak diperkenankan mengambil peraturan Islam, sementara meninggalkan aqidah yang memancarkan peraturannya. Sebab, dengan cara ini kita akan mengambil peraturan bagaikan tubuh yang tidak memiliki ruh di dalamnya. Kita harus mengambil Islam secara sempurna, baik aqidah maupun peraturannya; serta hendaknya kita mengemban qiyadah fikriyah Islam pada saat kita mengemban dakwah Islam.

Sesungguhnya jalan kebangkitan kita hanya satu, yaitu melanjutkan kembali kehidupan Islam. Tidak ada jalan lain untuk melanjutkan kehidupan Islam itu kecuali hanya dengan tegaknya Daulah Islamiyah. Dan itupun tidak ada jalan lain kecuali apabila kita mengambil Islam secara sempurna: yaitu mengambil Islam sebagai aqidah yang mampu memecahkan masalah utama (al-uqdatul kubra) manusia, yang diatasnya dibangun pandangan hidup; juga mengambilnya sebagai peraturan yang terpancar dari aqidah Islam tersebut. Asas dari peraturan ini adalah Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya, sedangkan kekayaan khazanahnya adalah kebudayaan Islam yang mencakup fiqih, hadits, tafsir, bahasa dan lain sebagainya. Tidak ada jalan menuju ke arah itu melainkan dengan mengemban qiyadah fikriyah Islam secara sempurna dengan cara menjalankan aktivitas dakwah Islam, serta dengan cara mewujudkan Islam secara sempurna di setiap negeri, sehingga apabila qiyadah fikriyah Islam telah disampaikan kepada seluruh umat sampai tegaknya Daulah Islamiyah, barulah kita dapat mengembangkan qiyadah fikriyah ke seluruh penjuru dunia.

Inilah satu-satunya jalan untuk menghasilkan kebangkitan: Mengemban qiyadah berpikir Islam kepada kaum muslimin untuk melangsungkan kembali kehidupan Islam, kemudian mengembannya ke seluruh umat manusia melalui Daulah Islamiyah.



[i] Maksudnya ikatan yang didasarkan pada suatu agama yang bersifat ritual belakaa dan tak mampu melahirkan peraturan.

[ii] (HR Bukhari, hadits nomor 2493 dan 2686)

[iii] Pada tahun 1973 terjadi kudeta di Afghanistan yang merubah sistem peradilan Islam menjadi pengadilan sipil biasa, pent.

0 komentar:

Posting Komentar

midason creative product. Diberdayakan oleh Blogger.

Midason Website Translator

Sebarkan Kebaikan

Bila ada manfaat dalam tulisan di blog ini, silahkan share ke teman. Klik link di bawah (Share It). Thanks

IKRAR PERJUANGAN

Siapa yang banyak tertawa, wibawanya merosot. Siapa yang banyak bercanda, niscaya diremehkan. Siapa yang banyak bicara, banyak dustanya. Siapa yang banyak dustanya, Siapa yang sedikit malunya, tipis wara'nya. Siapa yang tipis wara'nya, mati hatinya. Mulailah sekarang juga untuk melangkah..... menuju tujuan Anda.... meskipun selangkah demi selangkah, tetapi akan membawa Anda ke tujuan... namun pastikan arah yang Anda tempuh benar... Pastikan Setiap Detik Hidup Anda Bertambah Ma'rifah. Baik Mengenal Allah (Ma'rifatullah), Rasulullah, Al-Islam, Al-Qur'an, Insan, Bisnis, Politik, Da'wah dan Jihad. Itulah Cara yang Sesungguhnya.

Jalan Menuju Surga

Jalan Menuju Surga
Ikutilah...!

About Me..!

Foto saya
Smart Muslim and Profesional !!!

midason program

midason program
Mari mendesain n berkreasi Secanggih mungkin untuk ketinggian Islam!!!

CONTACT PERSON

  • 085645848885

Followers

Database

DATA PENGUNJUNG