Uang KERTAS adalah RIBA

Wednesday, November 26th, 2008

Uang kertas merupakan alat tukar yang saat ini lazim dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Begitu lazimnya sehingga kita tidak pernah mempertanyakan ada tidaknya persoalan dengan uang kertas tersebut. Dari perspektif muamalah uang kertas penuh dengan persoalan. Dari tinjauan di bawah ini akan terlihat bahwa uang kertas merupakan riba, dan karena itu haram hukumnya.
Aset atau Surat Utang?

Dari kaca mata hukum Islam uang kertas pada dasarnya dapat dilihat dalam dua kemungkinan, yaitu baik sebagai aset (’ayn) maupun sebagai janji utang (dayn). Pilihan posisinya adalah sebagai berikut:
A. Kalau fakta bahwa uang kertas adalah dayn diterima, yang berarti ia merupakan janji pembayaran atas sejumlah ’ayn (aset), maka uang kertas tidak dapat dipakai dalam pertukaran dan larangan ini berdasarkan pada dua alasan:
1. Dayn tidak dapat dipertukarkan dengan dayn. Uang kertas ditukar dengan uang kertas adalah ’utang dibayar utang’, yang haram hukumnya.
2. Dayn atas emas dan perak tidak dapat dipertukarkan dengan emas dan perak. Ini sangat jelas, benda tak bernilai tidak dapat ditukarkan dengan benda bernilai.
B. Kalau posisi uang kertas sebagai ’ayn diterima maka nilainya adalah seberat kertasnya, bukan sebesar angka nominal yang dituliskan di atasnya. Kalau nilainya ditambahkan, dalam nilai nominal, melalui paksaan politik atau hukum, maka nilainya telah dikacaukan dan transaksinya, menurut syariah, adalah batil. Uang kertas, menurut syariah, tidak dapat digunakan sebagai alat tukar/pembayaran.
Pengertian yang benar akan batasan riba an-nasi’ah, sebagaimana telah dibahas sebelumnya, sangat penting bagi seseorang untuk memahami posisi uang kertas ini. Dalam pertukaran barang sejenis, dalam konteks ini uang atau alat pembayaran lainnya, berlaku ketentuan yang padanya dilarang adanya dua unsur riba, baik karena penundaan (selisih waktu) maupun penambahanan (selisih nilai). Uang kertas sebagaimana yang kita kenal saat ini, tiada lain, adalah secarik kertas kuitansi – janji pembayaran – yang telah disahkan (secara paksa) sebagai alat pembayaran publik. Uang kertas (dayn) telah menggantikan emas dan perak (ayn), dan praktik pertukarannya adalah yang disebut oleh Umar ibn Khatab sebagai rama’, yang termasuk riba.
Berikut adalah beberapa riwayat yang dapat dijadikan sebagai dasar dan dalil pengharaman uang kertas sebagai alat tukar.

Imam Malik (Mauwatta, Buku 31, butir 34) meriwayatkan :
Yahya meriwayatkan kepada saya dari Malik dari Nafi’ dari Abdullah ibn Umar bahwa Umar ibn Khattab berkata, ’Jangan menjual emas dengan emas kecuali setara dengan yang setara dan jangan menambahkan sebagian atas sebagian lainnya. Jangan menjual perak dengan perak kecuali setara dengan yang setara dan jangan menambahkan sebagian atas sebagian lainnya. Jangan menjual emas dengan perak, yang salah satu darinya ada di tangan dan yang lainnya dibayarkan kemudian. Bila seseorang meminta kamu untuk menunggu pembayaran sampai ia pulang ke rumahnya, jangan tinggalkan dia. Saya takutkan rama’ padamu’. Rama’ adalah riba’. 

Dalil ini menjadi dasar larangan bagi baik penambahan (riba al fadl), maupun penundaan (riba an-nasiah), dalam suatu pertukaran. Penting untuk dimengerti dayn atau janji pembayaran itu sendiri hukumnya halal. Tetapi pemakaiannya hanya boleh secara privat, antara dua pihak dalam utang-piutang. Seseorang yang menitipkan uang (emas), ’ayn, pada pihak ke-dua, dan menerima secarik kuitansi atau janji pembayaran (dayn) untuk kemudian ditebuskan kembali dengan uang (emas) semula saat dibutuhkan, tidak melanggar hukum syariah. Tetapi ia, atau orang lain, tidak dibolehkan menggunakan secarik kertas (dayn) tersebut untuk bertransaksi dengan pihak ke-tiga. Bila akan bertransaksi dengan pihak ke-tiga maka ia harus menebuskan kertas (dayn) tersebut kepada pihak ke-dua, dan dengan uang (emas, ’ayn) yang telah berada di tangannya kembali, ia boleh menggunakannya sebagai alat pembayaran.
Dalam riwayat yang lain, Imam Malik menyampaikan: 

Yahya meriwayatkan kepada saya dari Malik bahwa ia mendengar tentang kuitansi yang diberikan kepada orang-orang di masa Marwan ibn al-Hakam untuk produk-produk di pasar al-Jar. Orang-orang memperjual-belikan kuitansi sesama mereka sebelum mereka menyerahkan barang. Zayd ibn Thabit dan seorang Sahabat Rasulallah saw, pergi kepada Marwan ibn al-Hakam dan berkata, ’Marwan! Apakah kamu telah menghalalkan riba?’ Ia berkata, ’Saya mohon perlindungan kepada Allah! Apakah itu?’ Ia berkata, ’Kuitansi ini yang diperjualbelikan orang sebelum mereka menyerahkan barang.’ Marwan kemudian mengirim para petugas untuk mengikuti mereka dan merampas kuitansi-kuitansi itu dari tangan mereka dan mengembalikannya kepada pemiliknya.

Hukum Membayar Zakat dengan Uang Kertas
Kejelasan posisi uang kertas sebagai riba memberikan implikasi pada hukum pembayaran zakat harta (mal). Menurut ke-empat madhhab utama, membayar zakat mal dengan uang kertas, tidak dapat dibenarkan. Imam Syafi’i, dalam kitabnya Risalah (1987:165):

Rasulallah memerintahkan pembayaran zakat dalam perak, dan kaum Muslim mengikuti presedennya dalam emas, baik berdasarkan [kekuatan] hadis yang diriwayatkan kepada kita atau berdasarkan [kekuatan] analogi bahwa emas dan perak adalah penakar harga yang digunakan manusia untuk menimbun atau membayar komoditas di berbagai negeri sebelum kebangkitan Islam dan sesudahnya.
Manusia memiliki berbagai [jenis] logam lain seperti kuningan, besi, timbal yang tidak pernah dibebani zakat baik oleh Rasulallah maupun para penerusnya. Logam-logam ini dibebaskan dengan dasar [pada kekuatan] preseden dan kepada mereka, dengan analogi pada emas dan perak, tidak seharusnya dibebani zakat, karena emas dan perak digunakan sebagai standar harga di semua negeri, dan semua logam lainnya dapat dibeli dengan keduanya dengan dasar kadar berat tertentu dalam waktu tertentu pula. 

Syekh Muhammad Illysh, Mufti Al Azhar, mewakili posisi Madhhab Maliki, secara tegas mengharamkan uang kertas sebagai alat pembayar zakat. Pendapatnya:

Kalau zakat menjadi wajib karena pertimbangan substansinya sebagai barang berharga (merchandise), maka nisabnya tidak ditetapkan berdasarkan nilai [nominal] nya melainkan atas dasar substansi dan jumlahnya, sebagaimana pada perak, emas, biji-bijian atau buah-buahan. Karena substansi [uang kertas] tidak relevan [dalam nilai] dalam hal zakat, maka ia harus diperlakukan sebagaimana tembaga, besi atau substansi sejenis lainnya. 

Posisi ulama madhhab Hanafi, bisa kita lihat dalam buku Seadet-i Ebediyye (Kebahagiaan Tanpa Akhir), Waqf Ikhlas (1993: 22-30). Waqf Ikhlas mengatakan:
Tidak dapat dibenarkan membayarkan zakat dengan dayn untuk harta [berupa] ’ayn atau dayn [janji utang] yang masih harus dikembalikan. Merupakan keharusan untuk memberikannya dalam bentuk aset yakni ’ayn. Imam Abu Yusuf, faqih dan satu di antara dua murid utama Imam Abu Hanifah, menulis surat kepada Sultan Harun Al Rashid, (memerintah 170H/786M-193H/809M), menegaskan keharaman uang selain emas dan perak sebagai alat pembayaran. Ia menulis:
Haram hukumnya bagi seorang Khalifah untuk mengambil uang selain emas dan perak, yakni koin yang disebut Sutuqa, dari para pemilik tanah sebagai alat pembayaran kharaj dan ushr mereka. Sebab walaupun koin-koin ini merupakan koin resmi dan semua orang menerimanya, ia tidak terbuat dari emas melainkan tembaga. Haram hukumnya menerima uang yang bukan emas dan perak sebagai zakat atau kharaj.
Dari berbagai kutipan dari empat madhhab di atas sangat jelas bahwa zakat harta tidak dapat dibayarkan kecuali dengan emas (Dinar) atau perak (Dirham). Seorang muzaki yang memiliki harta uang kertas atau turunannya, terlebih dahulu harus menukarkan uangnya tersebut dengan Dinar atau Dirham, sebelum membayarkan zakatnya.

Bagaimana Cara Menghitung dan Membayarkan Zakat dalam Dinar-Dirham?
Bila Anda memiliki harta uang kertas atau turunannya (deposito, saham, cek, dsb), harus Anda takar nisabnya dengan Dinar atau Dirham. Harta yang dihitung hanyalah yang telah memenuhi haul-nya, yakni tersimpan selama setahun. Nisab zakat mal adalah 20 dinar emas atau 200 dirham perak. Zakatnya 2.5%-nya.
Untuk mengetahui nilai tukar dinar emas dan dirham perak bisa menghubungi Wakala terdekat dengan rumah Anda atau memantaunya di HU Republika atau website Wakala Induk Nusantara (www.wakalanusantara.com).

Kewajiban zakat 2.5% dari total harta Anda yang telah tersimpan selama setahun tersebut kemudian ditukarkan dengan salah satu mata uang syar’i ini, Dinar Emas atau Dirham Perak. Dengan Dinar Emas atau Dirham Perak inilah baru Anda dapat membayarkan zakat.
 By: MIM Community

0 komentar:

Posting Komentar

midason creative product. Diberdayakan oleh Blogger.

Midason Website Translator

Sebarkan Kebaikan

Bila ada manfaat dalam tulisan di blog ini, silahkan share ke teman. Klik link di bawah (Share It). Thanks

IKRAR PERJUANGAN

Siapa yang banyak tertawa, wibawanya merosot. Siapa yang banyak bercanda, niscaya diremehkan. Siapa yang banyak bicara, banyak dustanya. Siapa yang banyak dustanya, Siapa yang sedikit malunya, tipis wara'nya. Siapa yang tipis wara'nya, mati hatinya. Mulailah sekarang juga untuk melangkah..... menuju tujuan Anda.... meskipun selangkah demi selangkah, tetapi akan membawa Anda ke tujuan... namun pastikan arah yang Anda tempuh benar... Pastikan Setiap Detik Hidup Anda Bertambah Ma'rifah. Baik Mengenal Allah (Ma'rifatullah), Rasulullah, Al-Islam, Al-Qur'an, Insan, Bisnis, Politik, Da'wah dan Jihad. Itulah Cara yang Sesungguhnya.

Jalan Menuju Surga

Jalan Menuju Surga
Ikutilah...!

About Me..!

Foto saya
Smart Muslim and Profesional !!!

midason program

midason program
Mari mendesain n berkreasi Secanggih mungkin untuk ketinggian Islam!!!

CONTACT PERSON

  • 085645848885

Followers

DATA PENGUNJUNG